Minggu, 15 November 2020

Pingsan

Pernahkan kamu pingsan?

Sayapernah, sekali. Mungkin orang yang belum pingsan mungkin penasaran, kayak apa sih pingsan itu rasanya? Bahkan karena saya lupa, pernah pas kawan tanya pernahkan kamu pingsan? Saya jawab belum pernah. Kemudian saya mengingat-ngingat lagi, ternyata saya pernah pingsan. Dan saya juga pernah dua kali dibuat tidak sadar alias dibius. Untuk keperluan operasi tentunya.

Ceritanya beberapa belas tahun lalu saya sakit. Dan saya harus mengkonsumsi obat. Saya dipaksa ortu saya untuk minum obat itu, rasanya seeprti diracun saja. Itu juga saat-saaat paling mengerikan di hidup saya. Saya sudah bilang kalau minum obat itu saya sesak napas hebat, hampir kayak nggak bisa napas tetapi omongan saya nggak dianggap. Karena saya masih ikut ortu, saya sedang sakit, kalaupun saya lari mau kemana, saya hanya berpikir kalau saya mati ya sudahlah mau gimana lagi. Jadi kadang saya main umpetin obat itu karena saya kesakitan banget pas sehabis meminumnya, dan orang lain nggak ada satupun yang mau tahu soal itu. Saya  benar-benar tersiksa, nggak bisa napas banget, dan sepertinya saya mau pingsan. Mungkin ortu saya saat itu berpikir jika obat yang diresepkan dokter pastilah untuk kebaikan saya, untuk kesembuhan saya, nggak mungkin salah nggak mungkin bikin saya mati. Ya, begitulah ortu saya seperti orang kampung lainnya yang nggak bisa terima kalau dokter bisa salah kasih obat. Jadi karena berasa mau mati dan mereka enggak nolongin kadang obatnya saya umpetin atau saya buang. Mungkin saya alergi atau dosis yang dikasih dokter semprul itu terlalu besar dan sialnya saya harus menelannya.

Tapi sepertinya ortu saya memastikan benar obat itu saya minum. Jadi, saya harus tersiksa terus saat meminumnya, saya benar-benar trauma kalau ingat itu. Saya merasa kesakitan kayak mau mati,tapi mereka satu pun nggak ada yang peduli dengan omongan saya. Saya seperti disuruh mati saat itu. Kelak akhirnya saya berjanji, saya akan tanya ke anak saya kalau minum obat gimana reaksinya, bukan sembarang anggap dokter itu dewa. Saya benar-benar benci dengan dokter kampret yang kasih obat sialan itu. Jadi sekarang kalau dokter kasih obat, saya lihat dulu reaksinya ke saya, dan selalu saya bilang ke dokternya kalau saya punya maag saya alergi antibiotik dan lainnya. Dokter sekarang juga sering tanya soal alergi obat atau riwayat penyakit jadi nggak ngasal seperti dokter semprul yang itu.

Jadi pagi itu saya minum obat seperti biasa di kamar, beberapa menit kemudian seperti biasa saya sesak napas parah tetapi ditambah pandangan saya mulai gelap. Biasanya sesak napas aja dan saya tiduran sambil menahan sakit hingga efeknya hilang. Saya sempoyongan dan reflek mencari pintu keluar kamar untuk meminta tolong ke ortu. Ortu sepertinya saya dengar antara sadar dan enggak seperti sedang ngobrol di ruang tamu. Langkah saya makin nggak jelas, saya berjalan berpegang ke dinding, rasanya saya nggak bisa napas lagi dan mata saya makin gelap. Kesadaran saya makin menjauh, kemudian tubuh saya ambruk pas di depan pintu kamar tamu. Saya sempat mendengar kedua ortu saya berteriak mungkin melihat saya ambruk terbentur pintu sebelum kesadaran saya benar-benar hilang. Saya juga sempat mendengar kepanikan mereka dan berusaha menggotong tubuh saya ke kamar.

Di situlah saya kesal dan menyadari kalau dokter kadang kasih resep yang dia enggak tahu tubuh saya kuat apa enggak. Sebenarnya itu bukan satu-satunya saat terburuk saya, banyak peristiwa lain di hidup saya yang bikin saya batin “kok sampai kayak gitu aku yo kuat”. Saya pernah juga nekad mempertaruhkan nyawa saya dalam kondisi yang hampir sama. Bahkan kalau ingat itu, saya heran saat itu saya enggak kenapa-kenapa, Allah masih melindungi saya atau lebih tepatnya kasihan mungkin sama saya. Nulis gini aja, mengingat saat itu aja dah bikin mbrebes mili. Kenapa saya tulis ini, kelak jika saya lupa maka saya bisa membacanya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.

Update Berkebun