Selasa, 20 November 2018

Kora


Bukit itu dipenuhi bangunan kotak, dominan warna merah hati dan putih serta perpaduan keduanya. Di beberapa tempat nampak pepohonan yang tidak begitu tinggi pun tidak begitu lebat. Jalanan seperti warna bebatuan yang disusun rapi kotak-kotak. Sesekali ada sapi melintas bahkan anjing.

Tiga lelaki dengan topi bulat cokelat, seorang perempuan dengan tongkat sedang duduk dalam satu bangku. Kebanyakan orang yang datang ke tempat ini untuk keperluan berdoa, begitu katanya. Perempuan umur diatas 50an dengan rambut dikepang panjang, mata sipit dan masih terlihat bekas kecantikannya. Pakaian khas daerah itu warna mencolok biru tua keunguan dan merah terang. Jalanan yang tersusun dari bebatuan warna krem putih keabuan, para peziarah biasa melakukan kora. Sayapun melakukannya, mereka melakukan saat matahari muncul, mengelilingi stupa bangunan biara. 

              “Berdoa membantumu melewati banyak hal. Bahagia maupun duka. Kukira kamu datang untuk itu.” Katanya sambil membenahi lengan bajunya yang menggembung lebar. 
                 “Sebenarnya saya hanya berkunjung saja, menikmati perjalanan ini sampai saya menemukan...apa ya namanya, mungkin ketenangan. Atau sesuatu seperti...petunjuk. Walau saya sendiri kurang tahu itu apa atau dalam bentuk seperti apa. Tapi saya yakin jika menemukannya saya juga mengerti.”

Dia menatapku sesaat, mengunyah kue kecil dalam wadah yang tadi dia hidangkan saat aku datang. Sambil melipat pakaian kuning kecoklatan yang seperti kain-kain yang utuh panjang-panjang dan besar. Kain tanpa jahitan itu mengingatkanku pada baju ihram, yang hanya dililitkan saat naik haji yang hanya putih polos dan tak diapa-apakan.
                “Kukira kamu melakukan itu untuk semua yang bisa membuatmu merasa lebih baik. Bagiamanapun kehilangan sangat menyakitkan.” Ujarnya sambil berjalan keluar.
Sekilas aku mengingat candi besar Borobudur. Yang bertingkat, para biksu akan berdoa mengelilinginya saat berdoa. Sedikit mirip yang 'itu', tapi berbeda, hanya perputaran, mengelilingi sesuatu memusatkan pikiran pada satu, Tuhan.

Kadang saya bingung kenapa saya sampai di tempat ini. Seminggu lalu saya masih di kantor dengan kesibukan dan rutinitas yang lama. Lewat sebuah perkenalan di dunia maya saya menemukan seorang kawan. Dengannya dunia saya berubah, lebih apa ya? Berwarna, memiliki semangat dan sesuatu yang ingin kuraih. Teman mengobrol, bertukar pikiran. Pikiran yang kadang cenderung banyak anehnya. Sesuatu yang selama ini tak bisa aku bagi dengan kawan-kawanku yang lain.
                “Makanlah dagingmu.”
                “Ah ya makasih.”
Katanya daging di daerah ini banyak dari sapi liar, mereka biasa menyebutnya Yak. Dalam cuaca sedingin ini sedikit lemak dalam sup hangat cukup menghangatkan. Entah bagaimana semua ini bermula, tiba-tiba saat saya merasa aneh dengan hubungan kami, dia mengajakku kemari. Dengan semua yang saya hadapi, saya mengiyakan saja permintaan itu. Dan aku mengikutinya.
***
Dia masih duduk di meja kecil itu, dengan jendela kayu sama kecilnya menghadap keluar. Pemandangan barisan pegunungan di kejauhan cukup indah. Kalau bisa kubilang barisan pegunungan ini hampir sama dengan kondisi pegunungan di daerah pegunungan dekat Dieng. Di sana saat musim tertentu tanah di daerah punggung gunung tampak gundul. Dulu pernah aku mengambil gambar deretan gunung gundul itu. Tapi di sini, ada sebagian gunung fenomenal di latar belakang dengan diselimuti sedikit salju tipis. Tipis maksudku dari sini, dari kejauhan, karena kehitaman tanah atau batunya ada sedikit yang kelihatan. Barisan pegunungan di kejauhan ini juga mengingatkanku akan pegunungan menoreh yang penuh hijau pohon. Juga tulisan cerpen Pegunungan seperti Gajah Putih Ernest Hemingway.
                “Sudah berkeliling?” tanyanya menoleh padaku saat membuka pintu.
                “Ya, tidak jauh, mampir ke rumah Pep.”
                “Sudah ketemu sesuatu yang menarik?”
Dia hanya mengenakan kaus hitam lengan panjang dan jins. Kakinya mengenakan kaus kaki. Tubuh tipisnya begitu ringkih, pasti sangat dingin. Dia masih menatapku yang mencopot jaket, tas dan melepas sepatu.
                “Kenapa, ada yang aneh?” tanyaku.
                “Enggak.”
Aku mendekat padanya duduk di depannya. Gantian aku menatap pegunungan di kejauhan itu.
                “Mengingatkan akan rumahmu?” tanyanya.
                “Jangan menebak.”
                “Rumah, maksudku rumah yang kamu cari.”
              “Ya, sunyi yang sepertinya familiar, rasa sesak sesekali, dingin yang menusuk kulit, gema doa, lorong dengan jalan abu-abu. Pemandangan pegunungan di kejauhan, ya aku tahu...tapi aku tak tahu apa.”
                “Kalau begitu nanti kita cari tahu soal itu.”
Sepanjang sore itu kami hanya ngobrol hal-hal yang ringan. Sampai makanan kami datang, aku makan untuk kedua kalinya dan dia hanya tertawa melihatku kekenyangan. Lalu aku berjalan keluar di tanah belakang bangunan rumah itu sedikit tersisa dekat jurang, tempat yang lapang sebenarnya untuk menatap pegunungan itu. Aku melepas sepatu berjalan bertelanjang kaki ke tanah yang sedikit berbatu. Rasanya geli dan aneh.
                “Sini, coba copot kaus kakimu, enak.”
Dia menatapku dengan tatapan aneh. Tapi tak berapa lama dia melepas kaus kakinya, berjalan mengikutiku. Kami berdiri berdampingan menatap matahari tenggelam yang tampak indah, sedikit awan tipis menutup silau oranye terangnya.
                “Kamu benar, aku juga jarang copot alas kaki begini. Rasanya lucu juga geli-geli aneh.”
                “Kapan-kapan kita jalan-jalan nggak pakai sepatu atau sandal. Coba kuat nggak.”
                “Enak enggak, lecet kaki iya.”
                “Hahaha...kamu takut ya?”
                “Males ah. Kamu nggak kedinginan?”
                “Nggak.”
                “Alah emangnya...”
            “Ish...udah maaf maaf jangan marah, aku hanya bergurau.” Aku memeluknya dari samping. Sebenarnya aku ingin memeluk lama tubuh lelaki ini. Yang tipis, yang ringkih, kawan yang berjanji tak akan aku tinggalkan.
                “Yang butuh itu kamu, bukan aku.” Ujarnya tiba-tiba.
                “Hmm?”
                “Iya kamu.”
                “Enggak.”
Kami berdiam lama menikmati matahari sore itu berdua, berdiri di pinggir jurang di belakang rumah Pep. Tanganku masih melingkar di pinggangnya. Dan dia diam saja. Tidak menolak pun tidak mengelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.

Update Berkebun