Teori sama praktek itu jauh banget bedanya. Kalo pada ngomongin teori pada setinggi langit tetapi kalau belum praktek jangan sembarangan.
Ketika jadi anak dulu ortu nggak ngatur-ngatur sih, saya bisa mikir sendiri juga. TAPI mereka sebagai ortu juga nggak ngasih tahu beberapa hal penting yang mungkin telah membuat saya trauma sampai sekarang. Karena saya kecil tidak dalam perlindungan dan pengawasan yang baik dari mereka. Saya harus menanggung trauma yang saya lawan sampai sekarang dan tanpa saya sadari juga sudah mengubah sifat saya jauh dari yang seharusnya.
Saya yang tidak banyak dikekang dari kecil justru terkena trauma, teman saya ada yang nampak ortunya begitu protektif dan dia baik-baik saja. Kebetulan? Keberuntungan? Saya rasa bukan. Meskipun saya melihat sampai dia dewasa sekarang ortunya masih suka khawatiran dan protektif banget. Dan saya memandangnya dengan perasaan aneh. Karena semestinya saat ini dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri.
Berbahaya seharusnya pada umur mereka yang masih anak-anak jika tanpa pengawasan. Maksudnya hal- hal yang dibatasi misalnya karena mereka anak perempuan cenderung lemah di mata mereka. Ya ortu sangat protektif juga salah satunya pasti karena itu. Atau takut kalau kenapa- kenapa di jalan. Mungkin ortu ada trauma juga jadi over protektif begitu. Saya sendiri ngeri melihat pergaulan anak muda sekarang, SD SMP sudah pacaran bahkan sampai melakukan hal lebih jauh tetapi seperti nggak merasa bersalah dan bersikap biasa-biasa saja. Tapi tentu saja untuk resiko medis bagi tubuhnya mereka belum tahu benar. Misalnya bisa tertular penyakit berbahaya, hamil ketika tubuh belum siap, beresiko saat melahirkan dan lainnya. Terlebih jika punya anak perempuan pasti lebih was-was.
Anak remaja rasa ingin tahunya masih besar, dan organ seksualitasnya baru berkembang, bahaya jika hal ini membawa bahaya karena belum diedukasi dan belum tahu resikonya. Saya sendiri juga nggak mau kalau punya anak begitu. Maksudnya diumur yang sama anak muda lain justru berkarya, belajar dan mengejar cita-cita setinggi-tingginya.
Kalau ortu lain mau membebaskan anaknya ya terserah mereka juga sih, bukan urusan saya. Wong bagi anak saya tugasnya saat ini ya belajar. Saya enggak membebani hidupnya untuk bekerja membantu saya atau gimana, seperti yang saya alami dulu.
Pekerjaan masa kecil dan remaja saya saat membantu ortu itu saya jalani dengan perasaan biasa saja, karena saya menganggap bahwa semua anak di kampung saya juga melakukan itu. Bahkan saat itu kami memandang anak yang enggak begitu termasuk aneh dan kurang berbakti. Jadi saya anggap waktu itu sebagai hal lumrah, meskipun kadang saya merasa sangat lelah atau berat menjalaninya. Tetapi ada hal positifnya juga, setelah dewasa jadi tahu bekerja dan lebih mandiri, karena sudah biasa bekerja dari kecil.
Mungkin kalau saat ini pendidikan juga beda, lingkungan dan perkembangan teknologi juga beda dari zaman dulu. Kelak mungkin cari duit juga nggak seberat waktu dulu, mungkin banyak sekarang milyuner dari bermain Youtube atau IG. Caranya beda tujuannya sama, dan dengan cara yang halal atau baik
Saya nggak tahu orang lain mendidik anaknya gimana, saya terima masukan, saya baca buku, saya cari info, saya nggak main-main. Saya punya tanggung jawab sebagai ortu dan saya pernah jadi anak juga. Jadi tahu mana yang membuat saya susah dan seneng, banyak bolong –bolong kekurangan dari cara mendidik ortu saya, bolong-bolong itu saya tambal ke cara didik saya ke anak. Saya enggak menghujat ortu, saya kadang mikir sambil nelangsa aja pas inget waktu itu. Saya juga nggak mau hal susah yang saya alami dan kekawatiran saya tidak akan terjadi pada anak saya, gitu aja sih simpel.
Misalnya setelah dewasa nanti anak saya punya keluarga sendiri dan keluar dari rumah saya. Jika dia ada masalah atau bagaimana dia tetap memiliki rumah ini, rumahnya dulu, rumah kami selalu terbuka untuknya tanpa harus merasa sungkan jika tidak ada tempat yg dituju. Dan sebisa saya dan pasangan siapkan hal-hal yang membuat saya sendiri khawatir dulu waktu muda, misalnya kebutuhan dasar sandang pangan papan dan pendidikan.
Saya ulang lagi, saya juga pernah menjalani hidup sebagai seorang anak. Saya tahu hidup saya dulu susah dan saya nggak mau hal-hal yang saya alami dulu terjadi ke anak saya. Jadi sekarang saya mendidik dengan cara berbeda dengan ortu untuk beberapa hal. Jangankan jajan, buku, majalah anak, satu pun saya kecil nggak punya. Jangankan mainan anak, saya kecil membuat mainan saya sendiri. Saya nuntut orang tua saya karena tidak memiliki semua itu? Enggak. Meskipun itu tadi teori tidak semudah dalam prateknya.
Sekarang saya sekedar memberi tahu batasan-batasannya, aturan dasarnya, sekarang harus dia patuhi, kelak pada waktunya saat dia dewasa dan dia sudah tahu, maka dia boleh memilih bersikap karena sudah tahu konsekuensi dari tindakannya. Kelak dia bakal paham kenapa saat ini saya bilang gini saya bilang gitu, untuk beberapa hal saya memang out of control, karena saya menjalani kehidupan lanjutan imbas dari trama masa kecil saya.
Saya punya trauma, kadang mengutuk diri karena hal itu, atau menyalahkan orla atas hal itu, tapi disisi lain saya sadari tanpa trauma itu mungkin saya seperti yang lain, santai dalam menjalani hidup. Saya juga ngerti kenapa saya sampai mengalami trauma itu. Mungkin orang lain menganggap saya terlampau lebay atau paranoid. Saya hanya pernah mengalaminya. Saya hanya menjaga anak saya agar hal itu tak akan pernah terjadi padanya.
Selain itu buku salah satu hal yang menemani saya selama masa kecil, remaja hingga saat ini, dan saya nggak dapat buku bacaan saat itu, saya tak sengaja dan hanya mengisi waktu luang hingga saya kecanduan membaca. Maka saya memberikan banyak bacaan pada anak saya, agar dia tak perlu lagi mencari-cari. Jika dia besar nanti dia bisa memilih buku bacaannya sendiri dengan lebih baik.
Ibarat sebuah gelas yang pernah pecah dan direkatkan kembali. Meskipun nampak seperti gelas, tapi dia nampak berbeda dari gelas lainnya. Tapi hanya gelas itu yang tahu rasanya pecah berantakan di dasar lantai. Luar biasa kalau gelas yang pernah pecah, direkatkan kembali tapi nampak utuh dan tidak nampak berantakan. Kemungkinannya hanya tiga, satu: dia tidak benar-benar pecah, dua: bahan perekatnya cukup baik atau ketiga: kemungkinan dia gelas antipecah he he seperti gelas plastik. Dan asal tahu saja, manusia tentu saja jauh lebih rumit dibandingkan sebuah gelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.