Aron masih saja mencari perhatian di kelas. Bukan sekali dua kali dia mengganggu anak-anak perempuan. Tapi sepertinya belum ada yang mampu mengadukan hal seperti itu pada miss Lizzy.
“Pagi miss,” ujarku dari pintu ruangan miss Lizzy.
“Hei masuklah, ada apa?” tanyanya padaku. Dia meletakkan pulpen di samping tumpukan buku dan menggesernya ke arah samping, sehingga bagian meja di depan kami terbuka dan sedikit lengang. Hal begini seperti tidak akan ada hal yang bisa tidak ketahui dariku.
“Begini miss, ini bukan soal pelajaran dan semacamnya, ini soal Aron.”
“Aron? Maksud kamu,” miss Lizzy nampak bingung. Sebenarnya dari kilatan matanya aku menebak dia sudah tahu mengenai beberapa tingkah Aron di kelas.
“Kukira miss Lizzy sudah mendengarnya, jika belum baiklah.” Aku membenahi posisi dudukku sedikit mendekat ke arah meja, dan menaruh kedua tanganku diatas meja terlipat di depan dada.
“Aku ingin kau jelaskan lebih baik lagi soal itu, mungkin ada hal yang belum aku ketahui,” katanya kemudian.
“Miss, Aron sudah melakukan banyak bully pada anak perempuan. Dan aku salah satunya, bagaimanapun itu sudah keterlaluan, jika kami tidak mengadukan hal ini, saya yakin dia akan semakin menjadi. Setidaknya saya berharap yayasan atau orang tua siswa mampu memberi sedikit perhatian pada anak itu.”
“Begitu rupanya, baiklah untuk sementara aku tampung apa yang sudah kamu sampaikan barusan, sementara ini dia mungkin dalam pengawasan, dan jangan sungkan untuk memberitahu kami kabar dan kemajuan darinya. Mungkin aku bisa memanggil orang tuanya nanti jika sangat dibutuhkan. Apa itu cukup membantumu?”
Aku mengagguk,”terima kasih miss, saya kira itu cukup untuk sementara ini.”
“Baiklah, kamu bisa kembali ke kelas lagi, dan aku akan melanjutkan mengoreksi PR kalian ini.” Dia menunjuk tumpukan buku yang tadi dia singkirkan.
“Terima kasih miss, selamat siang.” Aku berdiri setelah bersalaman dengannya aku keluar ruangan dan menutup pintu ruangan dengan perlahan.
Aku berjalan ke arah kelas melewati lapangan tengah, kulihat beberapa pasang mata sempat mengawasiku. Dan salah satunya mata Aron, tapi who care, kamu sudah terlampau jauh teman.
“Teita, hei kau dari mana?” sebuah suara menghentikan langkahku. Aku berbalik dan menemukan Ciara juga Lee di sana. Aku sebaiknya bagaimana? Jika aku bilang mungkin aku tak tahu apakah mereka di pihakku atau di pihak Aron, aku tak pernah dekat dengan mereka jadi aku tak tahu apakah cukup aman mengatakan itu pada mereka.
“Oh hai, aku dari kantin, kukira masih lama masuk kelas, kalian dari mana?”
“Kami dari kantin juga dan menemui seorang teman, hei apa kau tahu soal anak kelas satu itu?”
“Anak kelas satu? Maksud kalian anak yang mana? Aku belum dengar apapun.”
“Ah kamu, ada anak kelas satu yang dikeluarkan dari sini. Namanya Julian, dia anak yang sangat pendiam sepertinya, tapi sayang ada sedikit masalah sepertinya.”
“Masalah? Seperti apa sebenarnya?”
“Jadi kau benar benar tak tahu?” keduanya tertawa bersamaan. Yang satu melirik pada yang lain untuk memberi kode agar mengatakan padaku.
“Baiklah, anak itu sedikit bermasalah dengan Aron, dan kamu tahu Aron kan? Ayahnya pendana yayasan bisa berbuat apapun untuk anak semata wayangnya yang tampan.”
Hah, tampan, kukira matamu rabun kawan, aku menghela nafas,”Okey, kukira aku sudah tahu sekarang, dan sampaikan jika kau bertemu dengannya aku tak berminat mengurusi hal hal yang tidak begitu penting begitu. Aku duluan ya, bye.”
Aku mengambil bagianku untuk melangkah pergi tanpa menunggu jawaban kedua burung kesayangan Aron itu. Untuk apa juga dia mengatakan hal semacam itu padaku, aku tak akan takut lagi jika miss Lizzy sudah mendengarku tadi.
DIPANGGIL MIZZ LIZZY
“Ta, kurasa Aron tahu gelagatmu, buktinya dia mengutus para anak buahnya untuk mulai mengintimidasi begitu.”
Yaya, teman satu kelasku, sambil makan di kantin kami membahas kemajuan kasus Aron. Jadi, setelah kejadian kemarin para 'dayang-dayang' Aron mulai berkeliaran di sekelilingku untuk sekedar menyapa, sampai ada yang benar-benar mencari info tentang kasus itu.
“Tapi Ya, kupikir miss Lizzy serius tentang ini kan?”
“Kita juga nggak tahu, bagaimana kalau miss Lizzy menganggap kasus itu bukan apa-apa dan melupakannya begitu saja. Mungkin dia sendiri tak mau terlibat dengan pemilik yayasan.”
Yaya mengerutkan keningnya, matanya menyipit aneh, kupikir satu-satunya kawan yang aku percaya untuk bercerita hanya Yaya, selain dia aku tak percaya mulutnya benar-benar bisa dipercaya.
“Tita, kamu dipanggil miss Lizzy ke kantornya.” Suara Nina dari pintu kantin.
Aku belum menyahut Nina sudah menghilang lagi. Kami saling berpandangan.
“Kira-kira apa yang bakal miss Lizzy sampaikan kali ini Ya?” tanyaku mencoba mencari opini Yaya.
“Kukira kamu tak perlu khawatir, dengarkan saja, selama kamu nggak salah kenapa harus takut. Jika akhirnya yang terburuk yang kamu dengar pun, setidaknya kita bisa bahas lagi nanti bagaimana.”
Yaya menepuk pundakku, mencengkeram keras, seakan hendak menyalurkan energinya kepadaku,”Baiklah, aku ke sana dulu ya.” Aku melangkah keluar menuju kantor miss Lizzy, sepanjang jalan tak kulihat batang hidung dayang dayang Aron bahkan Aron sendiri. Sepertinya dia menghilang entah di bumi mana setelah kejadian itu.
“Siang Miss Lizzy, anda memanggil saya?” aku melangkah masuk tanpa ijinnya sekalipun, toh dia yang memanggilku.
“Oh Teita, duduklah. Ada yang ingin kusampaikan, jadi tadi baru saya terima surat dari pusat, ada lomba karya tulis, dan aku tahu kamu suka menulis, jadi aku ajukan kamu sebagai salah satu calonnya. Siap ya?”
“Ehm.. menulis ya, siapa lagi selain saya miss, mungkin saya bisa sedikit belajar dengannya juga.”
“Aron.”
Duar!! Seperti ada sengatan petir sekian ribu volt menghentak tubuhku, aku benar-benar kaget dan kurasa aku salah dengar. Aron? Aku kira aku tak mungkin bekerjasama dengan anak itu.
“Miss, kalau pun saya maju sebagai salah satu pengarang di lomba itu, saya yakin saya tak bisa bekerja sama dengan baik dengan anak itu, miss Lizzy tahu sendiri kasus kemarin, kenapa juga saya harus satu tim dengan dia.” Ada nada emosi yang tak bisa kusembunyikan di suaraku, kurasa aku kesal dan jengkel juga dengan miss Lizzy, sepertinya dia menyengaja soal ini.
“Teita, kukira kamu harus mengesampingkan dulu masalah kemarin, saat ini kamu fokus dulu dalam lomba ini dengan timmu, dan aku hanya memilih kalian berdua, cari sebanyak mungkin informasi tentang tema itu.”
“Tapi miss, saya rasa saya tidak bisa. Saya tidak bisa jika satu tim saya Aron.”
“Ayolah Teita, kamu tahu Aron cukup pandai di kelasnya, dan Aron juga sudah memenangi banyak lomba serupa sebelum ini, justru ini kesempatan kamu untuk belajar dari dia. Lupakan masalah kemarin, mungkin Aron hanya main-main denganmu.”
“Tapi Miss..”
“Sudah Teita, keputusan sudah bulat, kamu segera balik ke kelas dan hubungi Aron.”
Miss Lizzy berdiri dari kursinya, membawaku ke luar ruangannya sambil berkata entah apa, aku sudah tak mendengarkan yang dia katakan, pikiranku dipenuhi kekesalan pada keputusan miss Lizzy dan pada Aron tentunya. Bahkan miss Lizzy tak menganggap apa yang aku sampaikan kemarin sebagai sesuatu yang penting.
Aku balik ke kelas dan Yaya segera mendekat, menanyaiku tentang banyak hal yang kujawab dengan kekesalan dan kekesalanku saja.
“Nanti Ya, aku cerita tapi nanti.” Aku keluar kelas menuju toilet.
Sampai di toilet cewek aku masuk dan berdiri lama di depan cermin. Saat aku kesal hampir menangis tiba tiba ada suara laki laki berdeham di belakangku, sontak aku kaget dan menoleh pada asal suara.
“Kau, apa yang kau lakukan di sini. Apa masih mau menggangguku?”
Dia hanya tersenyum sinis sambil berkaca, wajahnya menyebalkan. Dia memang lebih rapi tapi aku tak bisa lupa dengan kejadian di ruang ganti saat itu.
Aku melangkah keluar sebelum aku bergeser mencapai pintu dia menghadang langkahku, tangannya bertumpu pada dinding dan menutup jalanku.
“Aku minta maaf soal kemarin. Kukira aku sudah keterlaluan.” Dia menarik tangannya.
Sebenarnya aku bisa berlari keluar, tapi aku penasaran kenapa dia berubah begitu cepat.
“Kau tahu kau dulu begitu jahat..” kalimatku menggantung kemudian, aku juga tak tahu lagi menghadapi laki-laki ini apakah masih sama dengan lelaki yang dulu sekian tahun yang lalu memaksa menyentuhku di ruang ganti. Dan kemarin dia mencoba menciumku paksa, entah untuk keberapa kalinya.
“Ya aku tahu, aku sudah minta maaf.”
“Aku hanya ingin tahu kenapa..?”
Dia menatapku, mata birunya seperti ingin mengatakan sesuatu, sesuatu yang dia simpan, dan akhirnya dia hanya menatapku sesaat dengan pandangan entah apa namanya, lalu pergi keluar begitu saja. Ini salah, aku yang seharusnya pergi keluar meninggalkannya, bukannya malah aku yang dia tinggalkan bengong begini. Laki-laki aneh, aku bahkan lupa membahas soal tugas miss Lizzy.
“Hey tunggu, kau sudah bertemu miss Lizzy?”
“Ya sudah, dia mengatakan aku tak boleh mengganggumu lagi, tapi dia menyuruhku mengajarimu menulis. Jika itu maksudmu.”
Dia berkata sambil terus berjalan, tanpa menoleh padaku, tanpa berhenti seakan akan begitu yakin aku bakal mendengarnya, bakal mengikutinya, laki laki yg sangat arogan.
“Arogan hanya boleh dilakukan orang yang memang pantas untuk itu.”
Aku membeku di tempatku, memandanginya menjauh tanpa sedikitpun menoleh, apa yang barusan dia katakan, aku tak salah dengar bukan?
“HEI KAMU TAK BOLEH BICARA BEGITU PADAKU, KAU TAHU ITU?” aku berteriak akhirnya dengan kencang, dengan kesal, sampai semua mata anak-anak di lorong kelas menatapku. Dan dia, Aron tak sedikitpun menoleh padaku, sialan.
Hari itu kulalui dengan perasaan campur aduk, aku tak tahu harus bagaimana, mungkin sementara aku tak akan membahas soal apa yang aku katakan pada miss Lizzy. Mungkin semua akan mengendap atau akan mengalir hilang, sepertinya itu menjadi sangat tak penting dalam situasi ini.
* bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.