Sabtu, 09 Januari 2021

Mencoba Jamur Shimeji dan Jenis Jamur Lainnya

Saya suka makan jamur.


Tetapi hanya beberapa jenis jamur saja yang banyak beredar di pasar atau warung-warung dekat rumah. Jadi kalau mau jamur yang agak beda harus membeli di tempat yang agak jauh, biasanya sih di swalayan yang lengkap sayur mayur dan buahnya.


Saya pertama kali makan jamur itu jamur kayu yang dimasak simbah putri saya, saat saya masih kecil. Karena di kampung sana ibu saya jarang memasak jamur dan di pasar juga sepertinya jarang ada maka saya jarang sekali makan jamur. Sampai suatu hari simbah putri saya memasak jamur, katanya jamur kayu karena tumbuh di kayu-kayu dekat pohon melinjo. Simbah memetiknya langsung dari kebun. Saya masih ingat jamurnya putih tudungnya agak sedikit coklat muda, mirip jamur tiram tetapi agak sedikit cokelat tudungnya. Rasanya seperti kulit ayam kata simbah saya, dia memasak dengan santan saat itu. Iya, rasanya unik batin saya saat itu, wong itu kali pertama saya makan jamur.


Setelah berumah tangga sendiri dan berpisah dengan orang tua, saya jadi sering memasak. Termasuk bisa memilih sendiri bahan makanan yang hendak saya olah, dan saya mulai menemukan jamur di pasar atau warung dekat tempat tinggal saya. Saat itu saya tinggal bukan lagi di kampung ortu, tetapi agak lebih mendekat ke kota Yogya. Dari situ saya mulai mengenal jenis-jenis jamur lainnya. Yang sering saya jumpai di masakan capcay biasanya jamur kuping yang hitam, yang ada di masakan sop jamur kuping putih, sedang yang banyak di jual di warung atau pasar ya jamur tiram, jamur merang dan jamur kancing/campignon.
Saat jalan-jalan ke Sunmor UGM juga saya temui penjual jamur goreng yang enak. Hanya satu saja seingat saya yang enak, yang jualnya pakai kertas dan digoreng di tempat itu juga. Jadi bisa melihat jamur apa yang digoreng. Sekilas saya kira campignon karena bentuknya agak mirip, tetapi kok warnanya cokelat dan lebih besar. Kemudian saya bertanya ke penjualnya jenis jamur apakah itu, dia menjawab itu jenis jamur portobelo. Ya, di bungkusnya memang disebutkan nama jamurnya. Saya jarang menemui di pasar atau warung. Rasanya mirip campignon tetapi saya rasa lebih kering dan manteb karena lebih besar jamurnya.


Kemudian di Yogya saat itu juga ada tempat makan yang ngehits yaitu Jejamuran. Tentu saja saya mencobamakan ke sana, seneng banget karena semua olahannya adalah dari jamur. Bisa mencoba masakan sate jamur, sop jamur, jamur goreng bahkan tongseng jamur, rasanya enak semua he he. Sayangnya dulu saya tidak tahu kalau di sana juga menjual jamur segar, seingat saya hanya dipamerkan di depan macam-macam jamur yang sering dipakai tempat foto itu. 


Semakin kesini saya mulai mencoba jenis jamur lainnya, misalnya jamur enoki yang rasanya kres-kres itu dan terakhir saya menginginkan jamur gemuk yang suka dimasak orang korea untuk mukbang asmr yaitu jamur king oyster dan jamur shimeji. Tetapi karena tidak menemukannya jadi saya membeli jamur namanya sih dikemasan hokto putih, tapi mirip shimeji. Mungkin merek dagangnya hokto ya, atau memang nama lain shimeji adalah hokto. Baiklah saya sebut saja jamur itu shimeji putih. Di sana ada juga jamur shimeji yang cokelat dan jamur mirip shimeji tetapi batangnya lebih tinggi saya lupa namanya. 


Jenis jamur lain yang pernah saya temui selama ini antara lain:


Jamur merang itu paling harus cepat diolah, karena saya belinya yang segar bukan dalam kemasan gitu. Kalau di swalayan biasanya ada juga jamur merang yang sudah dalam kemasan, jadi berenang-renang dalam air gitu. Baunya juga pekat ya seperti merang (batang/sekam padi yang basah), sangat mendominasi jika diolah dengan bahan lain, kalau ditumis saya seringnya memasaknya dengan kecap dan pedas, karena akan sedikit meredam baunya yang khas itu. Rasanya enak kenyal, saat masih segar pilih yang besar-besar dan masih kuncup tertutup. Biasanya kalau segar dalam plastik gitu kalau berganti hari saja sudah berair kecoklatan, saat diolah juga beda rasanya dari yang segar. Kalau tidak suka jamur jangan mencoba jamur ini dulu karena saya merasa baunya sangat mendominasi itu tadi. Saya saja jarang memilih jamur ini karena dia tidak bisa disimpan lama.


Jamur tiram, ini jamur paling sering dijual di pasar dan warung. Jika masih segar dalam plastik menggelembung jangan dikucek-kucek atau ditumpuk-tumpuk naruhnya, baik saat dibawa pulang atau disimpan. Hampir semua jamur sih gitu ya, hati-hati menyentuh dan menyimpannya. Biasanya kemasan jamur segar yang saya beli berada di dalam plastik bening dan dikasih udara jadi semacam dalam balon gitu, begitu lebih awet disimpan. Dia kalau segar akan kuat beberapa hari di kulkas, tapi jamur ini kalau sudah berubah warna agak kekuningan atau seperti basah gitu harus cepat diolah. Karena sudah mulai membusuk dan tidak enak ketika diolah. Semua jamur enaknya diolah saat segar sih. Biasanya saya sop, ditumis dengan cabai hijau atau saya goreng tepung juga enak. Baunya tidak sepekat jamur merang, lebih enak dan lembut. Kalau masih segar baunya enak kalau menurut saya baunya seperti bau pondoh kelapa (batang kelapa muda).


Jamur enoki, tidak bisa disimpan lama karena batang bawahnya akan mulai membusuk. Baunya lembut dan enak, rasanya juga tidak biasa tidak mendominasi bahan makanan lain. Dan juaranya tuh jamur ini kalau sudah matang pun dikunyah masih kres-kres itu loh. Sayangnya kalau dimasak bentar aja takutnya jadi sangat layu dan lemes.


Jamur campignon atau jamur kancing, jamur ini jamur kesukaan saya. Dia awet banget kalau disimpan di kulkas, lebih awet dari jamur tiram atau yang lainnya (sejauh yang saya tahu loh). Diantara jamur di atas dia lebih enak, paling bisa dimasak apa aja, dicampur bahan makanan apa aja masuk dan baunya lembut nggak pekat. Dan teksturnyakenyal dan rasanya enak. Saya biasa masak buat tumis sama bahan lain misalnya kecambah, telur puyuh atau sawi. Bisa dicampur saat menggoreng telur juga, bisa digoreng tepung juga enak banget. Saya paling suka jamur ini, di kulkas seminggu aja masih bagus, masih putih dan enak. Dia kalau mulai membusuk warna kulit luarnya jadi kecoklatan. Pilih yang gede, tapi masih belum mekar/ putih semua dan masih menyatu ke batang jamurnya. Kalau mekar nantinya akan kelihatan lipatan-lipatan cokelat/ hitam dibawah tudung jamurnya dan sudah memisah dari batangnya. Kalau nggak suka aroma jamur, coba saja makan jenis jamur yang ini.


Jamur kuping hitam, saya sesekali menjumpai di warung atau pasar. Dijual masih segar dalam plastik gitu. Karena saya juga tidak familiar dalam mengolah jadi jarang beli juga, setahu saya hanya buat campuran capcay atau sop aja. Rasanya kenyal-kenyal seperti karet, tapi lembut sih. Baunya tidak kentara juga, aromanya tidak mengganggu bahan makanan lain bahkan nyaris tidak berbau. Kadang juga ada yang dijual dalam bentuk kering. Untuk memasaknya maka harus direndam air terlebih dahulu sebentar maka akan mengembang seperti jamur segarnya.


Dan satu lagi yaitu jenis jamur shimeji yang saya beli kemarin itu. Seperti enoki tapi lebih gede-gede, karena pangkal batangnya menggerombol jadi satu juga. Saat saya cuci (bisa enggak dicuci, tapi saya tetep mencucinya dulu) teksturnya jadi licin, saat dimasak juga begitu. Kenyal dan licin, baunya saat mentah itu sangat pekat. Seperti bau apa ya saya enggak tahu, tapi saat matang enggak begitu berbau lagi. Mungkin saya masak setelah 4 hari dari swalayan jadi ada beberapa biji jamur yang mulai layu, jadi menguar baunya. Saya enggak tahu apa saya yang salah memasak atau saya salah caranya masak, tapi kok lidah saya jadi agak gatal saat habis memakannya he he, nggak tahu kenapa. Dibanding jamur yang lain ini paling mahal karena tulisannya impor, apa impor benihnya ya. 


Yap segitu aja besok kalau saya kalau sudah ketemu jamur king oyster saya cerita lagi. Terimakasih sudah membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.

Update Berkebun