Sabtu, 21 Desember 2019

Mata Malam

Judul: Mata Malam (Diterjemahkan dari Human Acts)
Penulis: Han Kang
Penerbit: PT Bentara Aksara Cahaya
Penerjemah: Dwita Rizki
Cetakan: Oktober 2017
Tebal: 257 halaman


pic: Stanbuku

Di tengah kecamuk demonstrasi mahasiswa di Gwangju Korea Selatan yang dihadapi dengan kekerasan dan peluru tajam oleh penguasa pada tahun 1980, seorang pemuda mencari jenazah kawannya. Kisah berkelindan dengan beragam cerita lain yang menyentuh hati dan diracik dengan menarik.

Buku ini buku Han Kang ke dua yang saya baca dan saya miliki. Sebenarnya sudah lama saya membelinya, tanggal yang tertera di buku 14 November 2017, tapi selama ini meskipun sampul plastiknya sudah saya buka tapi belum tuntas saya baca. Seperti beberapa buku akhir-akhir ini, buku ini pun awalnya tidak menarik, tapi kali ke dua saya membacanya lagi ternyata bagus juga. Awalnya saya berhenti membaca karena bahkan dari awal bab sudah gelap ceritanya. Maksudnya muram dan menakutkan, ngeri membacanya dan membayangkan apa yang penulis ceritakan. 
Mereka sepertinya ingin memperingatkan dengan terang benderang bahwa tubuhku bukan milikku sendiri. Bahwa hidupku tidak bisa berjalan sesuai kehendakku -hal 125

Jika bukunya Vegetarian juga bernuansa muram, tapi lumayan terhibur dengan beberapa bagian yang lain, tidak dengan buku Mata Malam ini yang benar-benar muram. Sensasi begini saya pernah rasakan saat membaca buku-buku Murakami, meskipun ‘hiburan’ di buku-buku Murakami juga biasanya lumayan banyak.

Jadi cerita di buku ini sepertinya mencari mayat Dong Ho, sejauh yang saya pahami. Karena saya masih mencoba mencerna cerita ini. Beberapa babnya sepertinya merupakan cerita dari wawancara para korban tragedi itu. Dan semua sebenarnya berjalan menuju pencarian Dong Ho. Koreksi jika kesimpulan saya ini salah. Dari cerita masing-masing saya jadi bisa membayangkan apa yang terjadi di sana sini itu.

Katanya, bulan adalah bola mata malam. – Bab 5: Bola Mata Malam- Sang Gadis Buruh 2002 (hal 161)

Mungkin dari kalimat di ataslah judul buku edisi terjemahan bahasa Indonesia ini diambil. Di bab ini juga makin ngeri dan ngilu membayangkan apa yang terjadi pada sang gadis buruh itu. Mengerikan, dan bisa saja fiksi ini pernah benar-benar terjadi. Melihat bagaimana sang penulis dan sang penyunting menceritakan bagaimana tulisan-tulisan itu untuk terbit. Anggap saja ini seperti sebuah catatan beberapa orang demonstran pada waktu itu.

Saya agak bingung kalau pakai nama-nama Korea jadi saya sulit untuk menghapalnya juga. Tapi sejauh ini saya mencoba untuk menyelesaikan membacanya dulu, dan akan kembali membacanya di beberapa bagian agar lebih paham hubungan satu dengan bab lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.

Update Berkebun