Minggu, 16 Juni 2019

SRAWUNG: Sebuah Catatan

Kemarin saya membaca status seseorang di twitter yang sedang muring karena kelakuan beberapa pemuda di kampungnya. Kelakuan itu berupa sindiran dalam sebuah grub WA pemuda kampungnya yang berupa unggahan sebuah poster yang menyinggungnya.

Sebenarnya saya beberapa waktu lalu juga diceritain seorang teman yang kurang lebih sama kondisinya dengan masnya itu. Membaca twit mas itu jadi mengingatkan saya pada kawan saya itu, bahkan twitnya langsung saya screenshot dan saya kirimkan padanya dan orang yang sering membully saya dengan masalah serupa. Tentu saja kawan saya ingat betul apa yang pernah dia alami itu, sedang orang yang sering menyudutkan saya pada hal serupa saat saya kirim gambar twit itu masih saja menyalahkan saya, ya sudahlah. Upil kebo memang gitu, nggak berubah.

Saya berniat menuliskan tentang srawung ini selain untuk isi blog juga memang itu uneg-uneg saya selama ini. Sejujurnya hal ini juga bisa jadi saya alami sekarang ini, dan mungkin juga dialami orang lain yang memiliki kesibukan yang kurang lebih sama. Tetapi empati orang lain ini kadang sampai batas minus kalau boleh dibilang, mereka sama sekali tidak akan paham jika mereka sendiri tidak mengalaminya atau setidaknya dijelaskan dengan sejelas-jelasnya dulu mungkin baru paham.

Sudah saya tulis dulu, gimana jelasin rasa pahit ke orang yang belum pernah merasakan, atau misal lidahnya mati rasa, susah bukan? Ya, seperti itulah susahnya menjelaskan hal ini pada orang yang nggak paham atas kesulitan dan kesusahan orang lain. Dia menganggap orang lain hidup sama enaknya, sama nyamannya dengan dirinya sendiri.

Atau dengan kata lain (twit orang di twitter) intinya curhat ke orang yang keluarganya harmonis itu tidak ada gunanya. Atau semacam cerita tentang penderitaan hidup sama orang yang hidupnya enak-enak saja itunya sama-sama tiada gunanya.

Kembali ke cerita srawung tadi, banyak diantara orang yang masih menyalahkan begitu ke orang yang nampak tidak srawung, tanpa melihat apa kesibukan orang tersebut atau tutup mata dengan keadaan orang itu. Jelas-jelas dia masih butuh uang untuk biaya kuliah, dan dia berusaha mencari sendiri, sedang mungkin anak lain dengan nyamannya kuliah dibiayain oleh orang tuanya.
Ketika masih remaja, masih sehat-sehatnya masih seger-seger dan semangat masih membara, saat itu biasanya antara SMP sampai SMU biasanya saat itulah dia akan banyak ikut dalam kegiatan pemuda dikampungnya. Selebihnya dia jika melanjutkan studi ke jenjang kuliah bisa jadi dia akan keluar kampung dan disibukkan dengan tugas-tugasnya. Seterusnya sampai dia lulus, dia bekerja dan bahkan berumah tangga maka kesibukan tidak terhindarkan lagi. Jika dia bisa ikut srawung itu bagi bapak-bapak tentu beda situasinya dengan ibu-ibu.

Saat masih sekolah dulu, pulang sekolah nganggur sampai malam hari. Kesempatan ini bisa digunakan sebaiknya untuk bergaul dan ikut kegiatan remaja. Pekerjaan rumah juga palingan masih sebagian dikerjakan ibu atau ayah jadi lebih banyak nganggurnya. Tapi setelah kerja dan berumah tangga semua jadi lebih ribet, banyak hal yang diurus dan dikerjakan, sementara semua lebih banyak saya sebagai ibu yang melakukannya. Waktu luang hampir jarang, dan rasa capek juga semakin sering dialami. Bahkan mandi sore saja seringnya sampai mandinya malam karena sibuk ngurus rumah dulu, itupun habis makan terus tidur karena capek. Tapi kadang tetangga dan orang disekitar nggak paham hal begini, karena enggak menjalani jadi enteng sekali ngomongnya. Beda dengan ibu rumah tangga murni yang punya waktu seharian di rumah, masih ada waktu ngerumpi dengan tetangga dan lainnya. Dan tentu saja waktu untuk tidur siang, santai-santai tentu masih banyak. Yang nggak capek mugkin hanya orang kaya raya yang segala hal dilayani orang lain.

Jangankan capek, wong sakit saja sampai seringnya nggak dirasa, mikirnya selalu bawa tidur aja nanti bangun juga sembuh. Pas pagi bangun badan masih sakit tapi masih bisa jalan dan tangan masih bisa digerakkan buat ini itu, ya buat mengerjakan pekerjaan rumah, mau gimana lagi. Ya lupa lagi kalau sakit terus dibawa berangkat kerja. Kerasanya sorenya pas pulang kerja badan dah nggak karuan, baru deh nggletak nggak bisa ngerjain kerjaan rumah. Kalau gitu baru deh banyak pekerjaan rumah terpaksa dikerjakan oleh suami. Bawa tidur lagi, bangun pagi enakan dikit bawa kerja lagi, gitu terus. Gitu apa orang tahu? Enggak to. Tahunya kerja pergi pagi pulang sore enak banget. Padahal jadi ibu-ibu itu kerjanya ya di kantor ya di rumah. Tapi tentu saja masih dituntut srawung itu tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.

Update Berkebun