Menggelikan, jika melihat fotonya saat muda. Bagitu menawan tubuh langsing berlekuk indah, kencang dan cantik penuh gairah. Wanita itu sekarang masih wanita yang sama tetapi tak sama. Setiap kali bersamanya yang ada hanya rasa penuh, empuk, tapi terkadang juga sesak.
dan gadis yang ini beda,
begitu kencang, muda dan halus. Saat dia tersenyum bahkan marah pun nampak
menyenangkan. Entahlah 20 atau 30 tahun kemudian pasti dia menjadi wanita
berlemak yang sama. Menggelambir dan hampir sesak kalau duduk. Tapi itu bertahun
lalu kukatakan. Bahkan kini dia nampak sama menariknya.
Dia rajin berlari tiap
pagi, melompat lompat di halaman belakang rumahnya setiap sore. Dia memasak sambil
berjingkat gerak gerak kesana kemari. Aku yakin dia wanita yang
tidak seharusnya dinikahi laki laki manapun. Lengan berotot lembut, tidak berlebihan.
Perutnya masih perut rata yang sama, dan senyumnya masih senyum tulus wanita
yang muda dulu. Bahkan wajahnya tak jauh berbeda. Cantik pada usianya.
Memanggang menumis, mengupas bawang, memotong kubis, menyiangi rumput taman,
menyiram pot, memotong daun palem kering, memencet ulat bulu.
Memotong daun kering lagi,
menyiram pohon buah, memupuk, menyiangi rumput, menyangkul tanah, membuang
rumput, mengucir rambut, mengelap keringat, tertawa di antara bunga
mawarnya, tertawa lagi dengan anaknya, bergandeng tangan dengan suaminya,
pulang berbelanja, mendengar musik, duduk membaca, melihat berita dengan
serius, terdengar mandi, bau sampo, bau sabun.
Si nyonya gemuk yang putih
berjalan ke warung, berhenti sejenak berbincang dengan penghuni depannya,
tertawa bersama, melambai pada tetangga sebelahnya lagi, mengunyah donat,
memasukkan jemuran baju, berlari-lari mengejar kecoa, berteriak pada anaknya,
memegang stoples keripik di depan tv, sinetron india, mengelap keringat dengan
kaosnya, keringat di antara dua payudaranya yang montok besar.
Setiap sore suaminya pulang.
Setiap pagi mobil suaminya keluar garasi. Nyonya gemuk duduk di dalam rumah
saja, nyonya muda melepas suaminya dengan ciuman. Setiap hari tercium wangi
masakan dari rumah itu. Sedang di rumah nyonya gemuk ada pembantu. Kadang datang
mencuci baju menyeterika mengepel. Sedang nyonya muda sibuk menyapu, mengepel,
menjemur baju. Kaki langsingnya tak pernah berhenti berjalan kesana kemari.
Sesekali dia duduk di dapur
meminum kopinya, sambil membaca buku, mendengar suara burung berkicau yang
banyak menyambangi tamannya. Kemudian hujan datang, dia mendekat ke jendela
menatap hujan lama. Sore tiba, suaminya pulang dia menyambut di pintu dapur,
mengambil mantel hujannya, bertanya ini itu basa basi, lalu mandi, dan terdengar
dia berbicara.
***
Lelaki itu menyiapkan teh, membaca
buku, menyapu sesekali, melihat hujan sambil tidur, membaca koran, nonton film,
baca email, mengetik lagi. Menulis file di komputer lagi, lama, masih duduk di
depan komputer, sambil mengisap rokok. Asbak penuh puntung, dia melihat
tumpukan baju. Memasukkan ke plastik, membawa ke laundry, melepas sandal,
berjalan di taman belakang bertelanjang kaki.
Duduk sambil merokok, membaca
layar ponselnya, tertawa sendirian, tertawa lagi. Meminum teh hangatnya, dia
menatap langit yang mendung, hujan, dia memasukkan motornya ke garasi. Duduk
lama menatap hujan lagi, duduk di ruang buku, mengambil buku, membacanya satu,
lama, lama sekali. Dia melihat jarum jam di dinding, melompat mengambil kunci, keluar
sebentar, membuka bungkus plastik, makan dengan tenang, sepi.
Hujan lagi, merokok lagi
setelah makan. Membuka situs you tube, tertawa lagi, serius di depan komputer,
mengetik lagi, mengetik lama, matanya tampak
sayu, kakinya diseret ke tempat tidur, memejamkan mata sebentar, jam satu dini
hari. Bangun lagi, mengetik lagi, mengaduk teh, menyulut rokok lagi, membalas
email, menulis lagi, lagi, lagi, lagi sampai pagi. Meletakkan kepala di bantal,
tidur, diiringi kicau burung, hujan rintik.
***
Bukannya tak bahagia, katanya. Hanya saja kadang ada sesuatu
yang banyak tidak dia inginkan juga terjadi.
“Memangnya apalagi,”tanyanya.
“Aku
bosan, aku kadang jadi seorang pembosan. Aku membaca, belajar memasak atau apalah karena aku pembosan.” Katanya
lagi.
“Dia?”
“Dia..., dia beda. Dia..” Dia tak melanjutkan kalimatnya meletakkan mug kopinya,
mengetuk-ngetuk kayu meja, mengambil ponselnya.
“Baca ini, itu tulisan dia.”
“Tidak mungkin dia, tidak
mungkin.”
“Aku juga tak percaya, tapi aku
mencocokkan semuanya, itu tidak mungkin, memang tidak begitu seharusnya, tapi
itu terjadi.”
“Itu...dia?”
“Ya dia lelaki ini.” Dia menunjuk sebuah laman web.
“Tapi kalian tidak saling
kenal,”protes kawannya. “Itu mana mungkin bisa terjadi.” Lanjutnya keheranan.
“Bagaimana bisa sama, kalian tak bertemu, tak bicara, tak saling kenal.”
“Iya dia tak kenal aku, aku pun
hanya tau dia sekedarnya.”
“Sebentar, kau menyukainya?”
tanyanya sambil memajukan tubuh ke arah perempuan di depannya. Mejanya sampai
bergerak sedikit, menggerus lantai bergeser sekian senti.
“Iya, tulisannya.”
"Haaa...gitu."
"Haaa...gitu."
Wanita di depannya memutar bola mata, kemudian menyesap
kopinya.
Kemudian mereka diam lama lalu terdengar suara mereka tertawa. Perempuan itu kemudian bilang,” Aku bikinin sesuatu ya, biar kamu nggak cerewet aja.” Kawannya
mengangguk.
Dia menuju laci meja, mencari beberapa bahan. Menumpuknya
begitu saja. Dia mencampur gandum, ragi, gula halus, sedikit garam, dan telur.
Sedikit minyak, dan air hangat. Diuleni hingga kalis, sesekali ditambah sedikit
tepung saat membanting- banting adonan, hingga liat dan tidak lengket di jari
tangan.
Kemudian adonan kalis dibentuk bulatan, dimasukkan dalam
wadah dan ditutup kain bersih. Tiga puluh menit kemmudiaan adonan mengembang,
dia bagi dua. Satu bagian di letakkan diatas loyang, sebelumnya adonan itu dia
pipihkan, kemudian diolesi margarin. Memanaskan oven, menaburkan banyak saos
tomat, paprika potong, bawang bombang iris, potongan sosis, daging cincang, dan
terakhir keju mozarella. Loyang di atas panggangan, ditutup. Lima belas menit,
tercium bau harum gandum dibakar, plus gurih keju dan daging, dibuka, diangkat
diaruh diatas talenan kayu kemudian dipotong-potong. Dia membawanya ke meja.
“Silakan.”
Katanya riang.
“Hmm
enak, gurih anget manis enak.” Katanya sambil mengambil satu potongan, lelehan
mozarella nampak melumer diatas roti.
“Di
surga harus ada dapur. Kalau kita sampai sana.” Katanya sambil mengunyah
potongan ke tiga.
***
Dan botol-botol bening ukuran sedang setangah literan
bertutup kotak kotak. Ini pas untuk wadah jus. Sudah lama suaminya melarangnya
soal botol plastik. Katanya tak sehat. Botol kaca bening lain agak gemuk pendek
seperti buah apel. Bertutup warna gold, ini cocok untuk tempat kopi atau gula.
Wadah plastik tidak baik katanya.
Dan itu adalah kebahagiaanku, kebahagiaan dalam botol kaca
bening. Sederhana, fungsional. Dia menyukai sesuatu yang simpel. Tidak
berlebihan, tidak menarik perhatian, tidak mengundang mata memandang. Tapi
mencuri hatinya, karena dengan begitu hanya dia yang tahu betapa kesederhanaan
itu selau menarik perhatiannya.
Menarik keingintahuannya. Seperti botol kaca bening itu.
Kebahagiannya, dalam benda-benda. Untuk sesuatu yang tidak bisa dipegangnya,
diraihnya, dipeluknya, disentuhnya, dimilikinya.
Dia mengklaim kebahagiannya
sendiri, miliknya sendiri, yang membuatnya senang. Mencari, memeluknya untuk
dirinya sendiri. Untuk sebuah kemustahilan lain. “Ini nyata, ini nyata,” dia
membisikkan di hatinya. Ini bisa kau sentuh, kau sentuh, kau pandang, yang
bisa kau miliki. Untuk sebuah kemustahilan lain, ini nyata di depanmu, dalam
jangkauan tanganmu, dalam keinginanmu memilikinya sendiri. Hanya milik sendiri
saja. Cukup.
Tas mewah,
geang emas, kalung emas, mobil baru, baju baru, adalah kebahagiannya. Shoping,
ke salon, arisan, makan di tempat baru, dan wisata. Itu kantung bahagia nyonya
gemuk. Saldo tabungan cukup, makanan enak, kalkun, rendang, steak banyak lemak,
masakan berkilau di meja, lidah, mata yang perlu dimanjakan. Gelambir lemaknya
makin banyak, menumpuk, awas nyonya, kau
bisa tertimbun. Sedikit
jalan-jalan, banyak minum jus manis, sedikit lari-lari, tiga porsi steak berlemak.
“Kapan
kurusnya nyonya,” tanya pembantunya.
“Hei,
suami itu butuh yang empuk-empuk tahu.”
Batinnya,”Pembantu sialan, tak
ada bonus lebaran.”
“Nyonya,
ayam panggang siap.”
“Oke,
makan makan, enak enak.” Jawabnya lupa.
“Ingat
nyonya, jangan khilaf lagi.”
***
Dia berbincang lama di depan
rumah tetangga. Dia melirik rumah yang agak jauh. Nyonya gemuk tampak sedikit
kesal. Dia pulang membanting pintu. Pembantunya kaget juga. Dia keluar dengan
mobilnya, belanja, ke salon, makan di restoran mahal sambil arisan. Memamerkan
tas ratusan juta yang baru dibelinya. Tertawa, makan minum, lemak, lemak,
lemak, gula, gula, gandum, nasi, lemak, es krim, manis. Bahagia, kenyang, lupa.
***
Suaminya lama tak tinggal di rumah, gunjingan yan terdengar
mereka sering bertengkar. Bukan bercerai memang, si istri kemudian pergi ke
luar negeri. Jadi TKI. Suaminya di rumah saja mengasuh anaknya. Banyak yang
begitu di desanya.
“Kamu
pulang.” Kata suaminya di telepon.
“Aku
mau pulang jika kamu ceraikan aku.” Jawabnya.
“Kenapa?”
tanya suaminya.
Tak ada jawaban lama. Telepon mati. Tak bisa dihubungi lagi.
Lelaki itukah? Dia menuduh lelaki tetangganya. Bujang tua itu.
Isunya begitu pula. Dia mendatangi rumah laki-laki itu, dia tuduhkan semuanya.
“Kau
bisa mencari wanita yang belum bersuami,” katanya marah.
Lama dua keluarga itu tak bertegur sapa. Bahkan sampai ke
ibunya, anaknya, menantunya, tetangganya. Begitu bahagia dengan gosip baru,
kuping dilebarkan, ponsel berdenting penuh berita berputar-putar.
***
Si nyonya gemuk cemburu. Perhatian suaminya dikira
perselingkuhan. Cemburu, gosip beredar di antara acara arisan, di
jelek-jelekkan, dicaci bahkan disindir. Dikucilkan sih bukan, tapi jadi omongan
dibelakang. Ibuku tak peduli, kami butuh makan, dia hanya datang memasak atau
mengambil cucian. Itu saja, katanya. Beramah tamah sekedarnya, tapi suaminya
tampak menaruh suka.
Paham dengan keramahan ibunya. Ibuku menolak, saat laki-laki
itu menawari ikatan pernikahan. Toh itu membuat lebih baik dari pada jadi
omongan. Dan biar mereka saja yang tahu. Ibuku tentu saja menolak, katanya.
Bukan itu yang dia inginkan, kemudahan yang bakal jadi cacian yang
menjadi-jadi. Bukan, katanya. Bahkan untuk merebut perhatian atau hati
laki-laki yang beristri, tak ada wanita yang mau berbagi.
Apalagi itu hati, cinta, atau pernikahan dengan wanita
manapun, tak ada yang pernah ada, jika ada itu gila, katanya. Begitu ibunya
bercerita. Sebelum meninggal. Dalam duka, dalam sedih, dalam gosip yang
menjadi. Entah merasa terhina atau apa, entah karena malu atau apa, suami
nyonya gemuk yang ditolak pinangannya ikutan menambah gosip. Jadilah ibunya
menderita, sementara pekerjaan semakin sulit.
Aku, katanya, aku merayu anak laki-laki mereka. Ya, aku
merayunya. Aku mau membalaskan sakit hati ibuku. Aku hamil, anaknya, dan mereka
terpaksa menikahkan anaknya denganku. Kemudian, anak manjanya seperti tahu.
Tapi tetap bertahan dan menafkahi. Dia kemudian kutinggalkan. Memang itu
rencana semula, akunya.
“Rencana,”
tanyanya.
“Bukankah
sudah kukatakan, aku membalaskan sakit hati ibuku,” katanya.
“Kau
berselingkuh,” tanya wanita langsing.
“Sengaja,”
jawabnya. Dia menunduk, menatap lama tehnya.
Sebenarnya aku benar menyukainya, karena dia benar-benar
mendengarkan ceritaku. Kupikir dia lebih perhatian, dan aku nyaman bercerita.
Lama-lama, aku jadi menyukainya, diapun bekerja, dan sebenarnya dia tidak
bermaksud begitu. Tapi aku terlanjur menyukainya.
“Jadi
kau tak sengaja,” tanyanya.
“Ya
seiring waktu aku merasa nyaman bercerita, dan dia lama-lama menyukaiku juga.
Dia penyendiri, belum menikah dan aku mungkin satu-satunya wanita yang dia ajak
bicara.”
“Gosip
di desa itu?” tanyanya lagi.
“Ya aku
sendiri sengaja menyebarkannya, awalnya, tapi aku menyesalinya juga. Dia tak
seharusnya disakiti. Aku sudah minta maaf, dan dia bilang tak apa. Itu
kejujuran, katanya saat itu.”
“Suamimu?”
“Aku
sudah memberi keluarga itu balasan. Biar saja aku yang membalasnya. Tapi
semuanya seperti megalir begitu saja. Aku tak sengaja, bagaimana menyebutnya
ya?” kata perempuan itu lagi.
“Aku
tak tahu bagaimana menghadapi mereka jika pulang nanti.”
“Kamu,
tak seharusnya merasakan smeua derita itu. Kau tak meminta, semua terjadi
begitu saja, kau coba mengatasi, tapi malah jadi runyam. Tapi aku yakin
ketulusanmu. Penyesalan, semua akan baik-baik saja.” Perempuan itu menggenggam
tangan wanita di depannya.
“Ya
semoga.” Jawabnya , air mata mengalir di pipinya.
“Ibuku,
apa dia tenang di sana?” tanyanya.
Wanita di depannya mengangguk.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.