Setelah Ucil berpamitan ke bapaknya dan bapaknya melihatku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan apa. Mungkin sedikit curiga, kedua alisnya tampak menyudut berkerut.
"Ucil pergi pak," Ucil berjalan ke arah motorku.
Kami melewati jalan aspal yang ada lubang-lubangnya, melewati sawah yang setengah kering setengah lagi ditanami padi. Hingga kami ke kawasan perbukitan berhawa dingin dan pohon yang lembab seperti habis disiram.
"Kita mau kemana bang?" suara Ucil di belakang.
"Lihat saja nanti."
Ucilpun diam tidak melanjutkan keinginannya bertanya.
Kami berhenti di bawah pohon yang mirip cemara daunnya lancip kecil panjang seperti ijuk tetapi berwarna hijau. Di bawah pohon ada buah kecil-kecil berwarna cokelat dan daun seperti ijuk kecoklatan berserakan. Seekor burung pipit memungut satu dua daun kecil itu di mulutnya kemudian terbang dengan lincahnya.
"Ayo Cil ke atas sana" aku menunjuk ke puncak bukit yang tampak lumayan jauh dari tempat kami berdiri.
"Ke sana bang?"
"Iya," aku berjalan di depan dan anak itu menguntit di belakang.
Jalanan ini sering dilewati orang, sedikit licin karena agak basah. Sayangnya belum ada pegangan di kanan atau kiri jalan yang hanya muat satu orang ini. Sekali salah langkah bisa langsung terjun ke bawah jurang di sebelahnya. Mending kalau langsung terjun, pasti sebelum itu akan terguling-guling diantara pepohonan itu dulu, lalu meluncur turun ke arah bebatuan kalau untung bisa nyangkut di akar pepohonan atau rumput. Jika tidak akan berakhir di sungai kecil berbatu yang mengalir di bawah jurang, dan keesokannya masuk koran.
"Kamu gak takut Cil? Hati-hati kakimu," kataku menoleh padanya.
Loh dia ternyata tak ada dibelakangku, aku celingak celinguk mencari anak itu.
Kenapa tiba-tiba hilang anak itu, mataku mencari diantara pepohonan, di jalan yang lebih jauh sampai ke arah jurang. Tak ada.
Aku menurunkan tasku dari pundak. Mulai menyusuri jalan yang tadi sudah kami lewati.
Mataku mengawasi tiap sisi jurang dan kesetiap semak dan rimbun pepohonan.
Aku sudah berjalan hampir sepuluh menit dan anak itu entah hilang kemana. Apa yang mesti kukatakan pada bapaknya yang sudah menatap tak percaya tadi pagi. Lebih dari itu bagaimana kalau polisi menuduhku menculiknya atau sengaja mendorongnya ke jurang. Tapi demi apa? Bagaimana kalau...
"Bang," suara Ucil mengagetkanku.
Anak itu muncul dari belakang, tangannya sibuk merapikan celananya.
"Kau darimana? Asem kamu ngilang begitu saja," umpatku kesal.
"He he anu bang pipis di sono," jawabnya enteng tanpa dosa.
"Ya ngomonglah jangan asal ngilang."
Kami kembali berjalan ke atas bukit.
***
Ucil langsung terduduk sesampai di atas. Mengambil botol air mineralnya dan meneguknya dengan rakus, seperti sudah berhari-hari tidak ketemu air.
"Kita ngapain ke sini bang," tanyanya kemudian.
Aku ikut duduk di sampingnya. Menatap pepohonan yang menghampar di kaki bukit di bawah sana, Hijau dan rimbun melindungi segala yang hidup di bawahnya, kucing, kelinci atau kijang mungkin bahkan manusia yang kebetulan sedang pacaran.
"Kamu sungguh-sungguh mau belajar padaku soal kemarin itu?"
Anak itu mengangguk,"Iya bang."
"Kalau gitu, kamu lihat pepohonan di bawah sana?" tanyaku.
"Iya, kenapa bang"
"Hitung ada berapa jumlah pohon itu," kataku tenang.
Anak itu tampak bengong dan bingung, menatapku dan ke arah pohon itu bergantian.
"Beneran bang?"
"Iya beneran."
Anak itu tertawa kemudian berdiri,"Gak mungkin bang, itu terlalu sulit dan terlalu banyak"
"Kalau gak mau ya sudah." Aku berjalan menuju jalan kecil tadi menuju ke bawah.
"Bang, tunggu dulu, maksudnya gimana?"
"Permintaanmu di kertas itu sama sulitnya dengan menghitung jumlah pohon itu," terangku sambil berjalan turun.
"Bang tunggu, maksudnya gimana, kata abang kemarin bisa ajari aku, gimana sih"
Anak itu dengan muka tak jelas ikut melangkah di belakangku.
"Kalau gitu hitung langkahmu dulu ada berapa banyak sampai bawah sana, nanti kujelaskan di rumah"
"Tapi bang...," anak itu tampak ragu tetapi mulai juga bibirnya komat kamit menghitung langkahnya. Bagus.
***
Saya jadi ingat seseoang pas baca ceritanya mas....
BalasHapusDaniel Nagata : ingat siapa mas? mirip ya ceritanya
Hapus