Sebuah jaket berwarna oranye terang, topi rajut warna hijau neon dan sepatu kets warna putih. Disisirnya rambut keriting sebahu berwarna cokelat terang dan diikat asal, ditutup dengan topi wool hijau neonnya.
Dia berjalan mendekat ke meja menuangkan susu dingin dari kulkas. Diambilnya sebutir lemon segar dari kulkas dibawa ke meja dan mengambil sebuah pisau. Dibelahnya lemon jadi dua dan kemudian dia peras ke dalam susu dinginnya.
Kemudian dia meminum pelan susu itu setelah diaduk. Sesekali dia merapikan rambutnya yang menjulur ke wajah. Sekilas dia nampak seperti permen besar dalam warna-warna terang yang biasa dimasukkan toples kaca bening.
Tas kulit berwarna krem di ambil dari meja dan dia menutup pintu pelan. Langkahnya riang seperti menyenandungkan sebuah lagu, du du du du yang lirih tapi terdengar senang.
Seorang wanita tua yang sedang menyapu di depan rumah menatapnya berjalan, gadis berambut cokelat terang bertopi hijau neon menyapanya. Wajah wanita tua yang berkerut seperti kertas yang di remas itu tiba-tiba seperti langit cerah, tersenyum dan menampakkan sederet gigi cokelat. Wanita tua yang suka makan sirih.
Sesampainya di halte dia menunggu sambil menatap kendaraan yang lalu lalang. Di keluarkannya sebuah buku kecil dari dalam tas kremnya, sebuah notes bergambar bunga dan cherry. Di tuliskannya sebaris dua baris kalimat. Pukul sembilan wawancara, pukul 12.30 mengantar makalah, pukul 03.00 membeli obat dan lemon. Lalu menyimpannya kembali, berganti dikeluarkannya sebuah buku kecil. Beberapa saat matanya tak lepas dari buku, halaman demi halaman baris demi baris hingga bis datang.
“Kau sudah menyerahkan makalahmu?” tanya seorang gadis berponi dan berkaus polkadot.
“Nanti, kau mau ikut?”
Gadis yang di depannya menggeleng,”Kau dicari Kyo.”
“Ya dia sudah telpon aku, dia bicara apa denganmu kemarin?”
“Tidak ada, dia hanya tanya kabarmu dan bergegas pergi.”
Gadis bertopi rajut hijau menatap temannya itu,”Pergi begitu saja?”
“Iya, sepertinya dia cemas.”
“Kau tahu dia kenapa?” gadis itu ingin tahu, rambutnya yang cokelat dipilin pelan.
“Dia takut kamu.” Gadis berkaus biru menatap kawannya, mereka beradu pandang lagi.
"Takut?"
"Siapa lagi yang berani jadi temanmu di sekolah ini selain aku."
"Ya."
Kemudian mereka berbicara sesuatu lalu beranjak pergi.
"Takut?"
"Siapa lagi yang berani jadi temanmu di sekolah ini selain aku."
"Ya."
Kemudian mereka berbicara sesuatu lalu beranjak pergi.
Rambut cokelat cerahnya di sisir pelan. Di bukanya sebuah botol cat rambut baru, warna biru tua, dia mulai meratakan seluruh rambutnya dengan krim itu. Kemudian dibuangnya botol sisa ke tempat sampah.
Suara pintu diketuk. “Ya, sebentar.” Dia membuka pintu, ibu tua kemarin berdiri di depan pintu dengan seulas senyum dan sebuah keranjang berisi lemon segar berwarna kuning.
“Ini buat kamu.” Kata wanita tua itu.
“Ah, makasih.”
“Kebetulan ibu tidak suka lemon, kamu mungkin suka.” Katanya sambil berlalu pergi.
“Makasih.” Teriaknya dari pintu.
Dia membuka pintu kulkas, ada berderet botol susu segar dingin, botol cairan berwarna merah dan beberapa lemon yang masih tersisa.
Dia mengambil sebuah gelas dan menuang sebotol cairan warna merah segar. Sebuah lemon besar yang telah di belah langsung diperas ke dalam gelas. Dia meneguknya dengan tenang, sisa tetesan cairan merah di bibir dilapnya dengan jari.
“Makasih Kyo.” Gadis itu tersenyum.
Dia menutup kembali pintu kulkas, di dalamnya penuh buah lemon, susu segar dan botol cairan warna merah. Selain itu, tak ada.
Baru saja dia mendengarkan lagu dan menulis beberapa baris, pintu kamarnya kembali di ketuk.
“Kyo,” seorang lelaki tinggi kurus dengan kulit pucat dengan kaca mata.
“Mengganggu?”
“Tidak, masuklah.”
Kamar itu cukup sempit hanya ada sebuah ranjang, sebuah meja kecil, kulkas di sisi lain dan dua buah kursi tua. Jendela yang tampak sama usangnya dan korden bunga yang klasik.
“Kau kembali, kau baik-baik saja?” gadis itu bertanya.
“Ya, kau keberatan?”
“Tidak, hanya saja…kukira kau tak akan berani lagi kemari.”
Lelaki itu menatapnya lama,”Kau tidak keberatan jika..” lelaki itu mendekati gadis itu pelan lalu duduk di sampingnya.
“Kau..tak takut padaku?”
Lelaki itu menggeleng pelan dan tersenyum. Tangan gadis itu mendekat ke wajah lelaki di depannya, menatapnya lama.
Lelaki itu bersuara mengaduh pelan.
Sebentuk cairan merah meleleh dari bibirnya.
"Maaf." ucapnya.
Dia mengelap tubuhnya dengan kain hangat di depan kaca wastafel kamar mandi. Dan gadis itu tampak terbangun menyusul di belakangnya.
“Sakitkah?” tanya gadis itu.
Lelaki itu menggeleng.
Ia kemudian menarik tubuh gadis itu.
“Jangan pergi lagi, aku tak takut padamu.” bisiknya di telinga.
“Baiklah, aku tak akan pergi.”
Harum bau wafel dan susu cokelat. Sekuntum middlemist mengapung di gelas bening dan dua piring wafel di siram karamel.
"Kau membuatnya?" tanya gadis itu. Rambutnya kini berwarna biru, dia menyingkirkan garpu dari piringnya. Ia memilih menggunakan tangan.
Lelaki yang duduk di depannya tersenyum dan mengangguk.
"Ah ada yang kurang."
Lelaki itu berdiri membuka kulkas dan meletakkan sebotol kecil cairan merah. Gadis itu melirik leher lelaki di depannya.
"Apa itu kurang?" tanya lelaki di depannya. Ia menggeleng dan menghabiskan botol merahnya.
"Di belakang banyak sekali merpati, kau memelihara mereka?" tanya lelaki itu.
"Tidak, mereka datang sendiri kemari."
"Oh."
Gadis itu berdiri mematung di atas gedung. Langit nampak jingga dengan matahari hampir tenggelam. Seekor merpati turun mendekat dan hinggap.
Dia meletakkan pisau di tangannya, burung itu mendekat tanpa takut padanya.
"Kau haus?" tanya lelaki itu tiba-tiba di belakangnya.
Di tangan lelaki itu ada buah strawberry dalam wadah plastik.
Gadis itu berlari mendekat dan meraih wadah di tangan lelaki itu.
"Makasih."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.