Sabtu, 10 Agustus 2019

TOTEM & TABOO

Judul: Totem & Taboo
Penulis: Sigmund Freud
Penerbit: Immortal Publising dan Octopus
Cetakan: 2017
Penerjemah: Kurniawan Adi Saputro
Tebal: 226 Halaman
Totem & Taboo ( buku dari BBW Jogja)

Totem yang paling kuno dan banyak dikenal berwujud binatang dan binatang totem pertama berkaitan dengan keyakinan tentang binatang-binatang berjiwa - hal 170.

Buku ini merupakan kumpulan esai Sigmund Freud tentang hasil psikoanalisis terhadap persoalan-persoalan psikologi bangsa-bangsa yang tak terjelaskan. Khususnya analisanya berdasarkan dan mengenai totem dan tabu yang erat hubungannya dengan hal tersebut.

Perlu diingat bahwa buku ini terbit tahun 1918, sepertinya saya menemukan buku klasik lagi. Karena saya juga tidak begitu menahu mengenai bidang psikologi, saya hanya memperkirakan jika mungkin saja esai yang Sigmund Freud kemukakan di buku ini ada teorinya yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu psikologi saat ini. Kedua, bahwa yang menulis ini seorang profesor di bidangnya. Dan yang dia kemukakan juga berdasar analisa data nyata pada kelompok masyarakat atau suku tertentu. Saya menemukan buku non fiksi lagi kali ini, dan saya senang membacanya.

Karena ini buku klasik jadi boleh dong jika saya sedikit membahas lebih banyak mengenai isi buku ini. Jadi buku ini terdiri dari empat bagian:
  1. Rasa takut manusia primitif terhadap inses.
  2. Tabu dan ambivalensi emosi.
  3. Animisme, sihir, dan kemahakuasaan pikiran.
  4. Rekurensi totemisme pada anak-anak.
Sebelum membahas satu persatu saya ingin menyatakan juga jika hingga saat ini yang kurang lebih satu abad lamanya dari buku ini terbit, totem dan tabu masih ada dan dipercayai oleh kelompok suku atau masyarakat tertentu. Tabu sendiri di suku Jawa dan suku-suku lainnya masih jelas banyak daftar hal tabu yang masih dipercayai. Sedangkan totem jika dalam pikiran saya mungkin dalam suku tertentu masih dipakai juga, tetapi ada juga yang dalam wujud lain. Misalnya dalam wujud nama marga di belakang nama, kelompok trah atau keturunan dalam masyarakat Jawa, atau dalam agama Islam sering dipakai nama ayah di belakang nama anaknya. Jadi kiranya analisis penulis di buku ini tentu saja masih relevan untuk dibaca.

Satu, Rasa takut manusia primitif terhadap inses. Pertama-tama ini hanya pikiran saja sih, mungkin dahulu pada masa manusia primitif, penelitian dalam bidang biologi atau kedokteran belum semaju saat ini. Jadi, mereka kemungkinan hanya mengamati apa yang terjadi sebagai sebuah pengalaman atau pelajaran. Bahwa inses ternyata menghasilkan kelainan pada anak atau keturunannya. Hal ini juga termasuk sebuah kemajuan tersendiri, maksudnya mereka tidak abai seperti tingkah laku binatang.  Tentu saja alasan dilarangnya inses saat ini seperti yang kita ketahui bahwa hal itu memicu kelainan genetik pada keturunannya. Jadi saya rasa manusia primitif juga sudah belajar dari pengalamannya sendiri, dan kita sekarang hanya perlu mencari petunjuk dan pembuktian akan kebenaran hal itu saja. Ya ini hanya pendapat saya saja, terlepas dari buku ini.

Kembali ke buku ini, Sigmund Freud memakai perbandingan mengenai hal ini pada suku paling terbelakang dan di benua paling muda yaitu Australia. Dia menyimpulkan jika suku kanibal dan nampak tak bermoral ini tidak seperti yang dibayangkan orang-orang bahwa kehidupan seksnya akan seliar itu. Tapi ternyata mereka telah memberlakukan batasan-batasan ketat terhadap inses ini. Suku Aborigin di Australia ini telah mengembangkan sistem totem ini untuk menjaga aturan tersebut. Dengan aturan bahwa anggota-anggota totem yang sama tidak diperbolehkan melakukan hubungan seksual satu sama lain; oleh karena itu, mereka tidak bisa saling menikah (hal 11). Pelanggaran akan aturan ini maka akan dihukum mati (hal 12).

Sigmund Freud banyak sekali mengambil sampel di buku ini misalnya di Malenesia seorang anak laki-laki akan meninggalkan rumah ibunya di usia tertentu. Di semenanjung Gazelle New Britaain, saudara perempuan yang telah menikah tidak bisa lagi berbicara dengan saudara laki-lakinya. Di Kepulauan Fiji lebih ketat bukan hanya pelarangan inses ini pada saudara perempuan sedarah tetapi juga saudara perempuan sekelompok. Disebutkan juga di buku ini suku Batak Sumatera, seorang ayah tidak akan tinggal sendirian di dalam rumah bersama anak perempuannya, demikian juga ibu dengan anak laki-lakinya, dan sebagainya. Entah saat ini masih berlaku atau tidak saat ini, dia mendapatkan informasi ini dari seorang misionaris Belanda. Demikian juga di suku-suku lain di Borongo di Afrika, suku Akamba di Afrika Timur, di kepulauan Bank, di Vanna Lava, kepulauan Solomon, suku Basoga, dan lainnya. Ternyata nenek moyang juga telah memahami pengetahuan ini dan mengantisipasinya dengan caranya sendiri. Jadi jika saat ini masih ada manusia biadab yang melakukan inses, saya kira dia lebih bodoh dari manusia primitif.

Lanjut ke bab dua, Tabu dan ambivalensi emosi. Tabu berasal dari bahasa Polinesia, Sacer dalam bahasa Romawi Kuno bermaksa sama dengan kata taboo dalam bahasa Polinesia. Yunani mengenak kata Yoc, orang Ibrani mengenal kata Kodaush untuk arti serupa. Begitu juga banyak bangsa di Amerika, Afrika (Madagasakar), Asia Utara dan Tengah mengekspresikan dengan nama serupa (hal 34).

Di buku tabu dijelaskan dari sebuah artikel dalam Ensiklopedia Britanica yang ditulis seorang antropolog Notrhcote W. Thomas. Tepatnya tabu mencakup:
•    Sifat suci (atau kotor) dari orang atau benda,
•    Jenis larangan yang diakibatkan oleh sifat tersebut, dan
•    Kesucian (atau kekotoran) yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap larangan tersebut. Lawan kata tabu dalam bahasa Polinesia adalah noa dan bentuk gabungan dari kata ini berarti ‘umum’ atau ‘jamak’...( hal 35)

Tabu sendiri ada berbagai kelas, ada tabu alami atau langsung, terhubungkan atau tak langsung dan tabu tengahan. Penjelasannya gimana? Hehe saya kok capek ya ngetik, lebih baik untuk penjelasan lebih detail membaca buku bagus ini saja.

Bab tiga, Animisme, sihir dan kemahakuasan pikiran. Di bab ini dijelaskan mengenai sihir dan animisme dan kemahakuasaan pikiran berdasarkan analisis psikologi. Bisa jadi hal itu penyakit, bisa jadi hal itu hal wajar yang merupakan sebuah skema pertahanan diri psikologis seseorang.

Seperti dijelaskan pada pengantar penerjemah edisi bahasa Inggrisnya, bahwa penderita neurosis yang semula mendapat stempel ‘rusak’ oleh aliran pengobatan lainnya terhapus sama sekali melalui penjelasan dan analisisnya.

Bab terakhir, Rekurasi totemisme pada anak-anak. Sekilas saya justru ingat tato, saya kira totem ada hubungannya dengan tato di suku tertentu. Maksudnya jika totem ini bukan hanya sebuah benda yang dikenakan, atau nama bisa juga langsung ke bentuk gambar yang ditoreh ke kulit bukan? Apa hubungannya totem dengan anak-anak sila baca lanjut di buku ini. Intinya pada anak-anak bahkan era saat ini jejak totemisme ini masih melekat. Mungkin tidak disadari oleh sebagian orang, bahwa misalnya hubungan manusia dengan kesukaan binatang tertentu juga merupakan bagian tersebut.

Akhirnya, ya saya suka buku ini, sangat suka, terjemahannya juga enak banget dipahami. Menambah wawasan baru dan menjelaskan hal-hal yang mungkin semula nampak konyol bagi yang tidak tahu. Terus membaca dan semoga bertemu buku bagus lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.