Suara itu mirip bola yang terpantul dari lantai. Melanting melanting dan terus terbanting. Bola-bola takdir yang melenting tanpa arah. Menerjang, menghantam dan bahkan mengambil.
Dan kamu yang mengaku cyanobacteria yang terjebak dalam bebatuan. Aku memandangmu hanya segumpalan wujud yang tidak berbentuk. Tak berbentuk. Meski kamu mengklaim dirimu adalah sesuatu.
"Aku bergerak tapi bukan oleh keinginanku sendiri," katamu.
"Aku tahu, tetapi aku tidak bisa melawan," lanjutmu.
Takdir, siapa yang tahu. Mimpi-mimpiku, angan-anganku, kebencian-kebencianku, mampu berjalan dan membentuk diri.
Suatu waktu kebencianku melepaskan diri dari diriku. Keluar seperti bayang-bayang yang melepaskan dirinya sendiri dari diriku. Berdiri dengan bentuk gelap dua dimensi yang tipis. Menatapku, lebih tepatnya berdiri di depanku dalam mimpi itu, sesaat saja. Kemudian berjalan menjauh.
"Aku ingin bisa mengejarnya, menghentikannya, mengikat dirinya ditubuhku lagi, andai bisa...," katamu lagi. Aku duduk mendengarkan.
Aku melihat diriku berlari-lari di tengah sawah, merasakan diriku terseret arus sungai yang deras hingga hampir tak bernafas. Melompat-lompat diantara dinding bagai seorang ahli parkur menyelamatkan anak-anak pengungsi yang terjebak dalam peperangan. Mengamati seperti penjaga terbaik dari atas gedung saat seorang penting lewat, menjadi seseorang yang terjebak keramaian anak-anak pramuka, terjebak di dapur seorang idola, ikut di panggung peragaan busana setelah pulang dari rumah sakit dan entah apalagi.
Duk...duk...duk
Kamu menangis waktu itu, menyalahkan dirimu sendiri. Sesuatu yang sudah terjadi tak bisa ditarik ulang kembali.
"Aku membenci diriku dan semua mimpi sialan itu," teriakmu. Wajahmu memerah sangat marah, tapi sesaat setelahnya kamu menangis seperti anak kecil.
"Aku kesal, aku membencinya, tapi bukan begitu caranya...bukan begitu inginku, dan biadab itu melangkah mendahuluiku, aku tak bisa mencegahnya." Rutuknya diantara tangis.
"Bayanganku yang hidup sendiri, bayangan sialan, bayangan terkutuk, bedebah!" tanganmu menghantam dinding di sampingmu, tanganmu berdarah. Tentu saja, kamu masih manusia seperti aku.
Duk...duk...duk
Suara itu mirip bola yang terpantul dari lantai. Melanting melanting dan terus terbanting. Bola-bola takdir yang melenting tanpa arah. Menerjang, menghantam dan bahkan mengambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.