Minggu, 01 Maret 2020

Pernikahan dan hal lainnya

Menanggapi sedikit tentang cuitan seseorang di twitter yang viral beberapa waktu lalu, saya agak lupa akunnya, bagus sih isinya. Saya hanya menanggapi atau menambahkan sedikit saja soal itu.


Kebetulan saya pernah mengalaminya sendiri dan hanya sedikit saja menambahkan. Saya setuju-setuju saja tentang cuitan mbak itu, bagus untuk pengetahuan dan persiapan bagi yang baru atau akan menikah.

Utang Piutang. Istri atau suami bisa saja tidak ikut tanda tangan dalam perjanjian/ akad kredit selama misalnya ada surat keterangan bertanda tangan yang disahkan notaris. Jika misalnya si istri berada di luar kota dan tidak bisa ikut tanda tangan akad. Atau memakai surat pernyataan semacam itulah pokoknya. Itupun jika pihak bank atau PJK membolehkan. Tapi bagaimanapun dia memang hanya mewakilkan pada pihak notaris jadi tidak bisa berkelak dari tanggung jawab atas hutang suaminya kelak. Kebanyakan pihak PJK membolehkan sebatas itu saja. Karena ya itu tadi, jika nantinya sang suami misalnya tidak bisa memenuhi kewajiban sesuai perjanjian maka pihak kedua yang akan dicari adalah istrinya. Dan sebaliknya jika peminjam adalah pihak istri, maka yang bakal bertanggung jawab kedua adalah suaminya. Kecuali ada pihak lain dalam perjanjian. Bagaimana jika misalnya si peminjam meninggal? Biasanya pihak PJK (Penyedia Jasa Keuangan) misalnya bank telah mendaftarkan asuransi jiwa pada saat akad. Jadi jika masih dalam jangka waktu pinjaman dan si peminjam meninggal maka pihak bank tersebut bisa mengklaim asuransinya untuk melunasi pinjaman yang bersangkutan, bahkan untuk asuransi tertentu ada yang memakai plafond awal pinjaman. Jadi meskipun misalnya pinjaman sudah tinggal separonya tetap bisa diklaim penuh sesuai plafond awalnya. Sisanya? Tentu dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pindah alamat. Menurut saya sendiri ini terserah masing-masing orang. Saya sendiri banyak menjumpai pasangan suami istri yang alamat di KTP nya berbeda. Dan tentu saja masing-masing juga memiliki KK (Kartu Keluarga) yang berbeda. Ini biasanya terjadi misalnya si suami memiliki orang tua yang harus dijaga, jadi suami masih ikut KK dari ayah ibunya. Bisa juga ini berkaitan dengan harta misalnya tanah/properti yang dimiliki si suami, jadi misalnya di alamat asalnya memiliki beberapa aset tanah yang mau tidak mau agar tidak repot dalam pengurusan entah pajak atau jual beli atau apa nantinya maka suami KTPnya masih KTP asalnya. Maksudnya tidak mengikuti alamat KTP istrinya. Dan tentu saja jika masih satu daerah hal ini masih tidak ada masalah, tetapi memang untuk hal-hal tertentu jika beda daerahnya, sudah lain pulau misalnya untuk pengikatan notariil atau yang berkenaan dengan hukum tentu agak repot juga. Karena untuk urusan hukum tertentu ada wilayahnya masing-masing.

Pasangan tanda tangan untuk tindakan medis. Ya orang yang paling dekat tentu saja memang pasangan. Jadi wajar jika persetujuan dimintakan pada pasangannya. Jika memang belum menikah juga persetujuan tindakan medis ini akan dimintakan pada keluarganya bukan? Jadi sama saja untuk masalah ini baik menikah atau belum menikah. Mosok iya mau minta tanda tangan persetujuan ke tetangganya selagi masih ada orang terdekatnya. Bisa saja suami istri ini saat masih sehat punya kesepakatan untuk hal ini, jadi batasan-batasan mana yang terbaik nantinya untuk tindakan medis. Dan usahakan selama sakit dan masih bisa berpikir baik maka usahakan agar kamu atau si sakit untuk mengatakan(ambil keputusan sendiri) pada pasangan bahwa ini dan itu yang kamu mau. Karena saat sudah tidak berdaya bukan tidak mungkin keputusan medis akan berada di tangan orang lain. Kamu yang paling tahu tubuhmu sendiri dan mengambil keputusan selagi masih bisa bicara dan berpikir baik.

Asuransi kesehatan. Tidak selalu pihak suami yang menanggung asuransi kesehatan istri dan anak-anaknya. Memang sebenarnya kewajiban suami begitu, begitu juga nantinya pada pihak yang menjadi tanggung jawabnya dalam pajak. Tetapi selama ini saya sendiri bisa dan pernah mendaftarkan dan membayar asuransi kesehatan suami dan anak saya. Bagaimanapun pihak asuransi tentu saja tidak bisa menolak toh kita membayarnya, dibayar dengan dipotongkan gaji kita dan memang kita membutuhkannya. Intinya juga agar ada asuransi kesehatan, nggak ada masalah ditanggung siapa atau dibayar siapa. Bahkan jika kamu belum menikah pun kamu juga tetap membutuhkan asuransi kesehatan ini bukan?

Pajak dan jumlah keluarga. Pajak apa dulu? Kalau pajak penghasilan, pajak kekayaan ya tentu saja berpengaruh. Wong yang dihitung hartanya berapa. Jika anggota keluarganya banyak ya beda dengan misalnya dia sendirian dan belum menikah. Pajak sendiri jenisnya juga banyak. Dari pajak bunga simpanan yang langsung dipotongkan oleh pihak PJK, pajak bumi dan bangunan (PBB) yang berupa pajak tanah dan bangunan, pajak penghasilan misalnya PPH 21 yang tergantung gajinya berapa, pajak jual beli jika kamu punya pekerjaan jual beli tanah misalnya, pajak tenaga ahli misalnya kantor kamu menggunakan jasa tenaga ahli dan kamu membayar jasa mereka, nah pajak yang mana?
Kalau urusan dengan anggota keluarga misalnya pajak penghasilan tahunan bagi yang sudah memiliki NPWP ya. Disitu misalnya ada poin isian untuk jumlah harta dan jumlah hutang. Nah di sini misalnya kamu masih sendirian belum menikah dan tidak punya hutang maka berbeda dengan orang yang sendirian tetapi memiliki hutang misalnya. Untung rate pajaknya itu ada aturannya sendiri.  Oh iya ada juga poin keluarga yang ditanggung oleh WP (Wajib Pajak), di sini misalnya laporan pajak suami, maka di sini juga dimasukkan data yang menjadi tanggungannya yaitu istri dan anak (jika sudah punya). Untuk lebih lengkapnya sila cari saja soal perpajakan atau bertanya pada yang lebih kompeten soal ini.

KPR (Kredit Pemilikan Rumah). Kenapa untuk KPR ini berpengaruh pada jumlah keluarga? Karena untuk lolosnya kredit ini ada analisa salah satunya analisa keuangan dan kemampuan dari yang bersangkutan. Bagaimana pihak PJK akan memberikan kredit ini misalnya jika tidak melihat dulu kemampuan dari yang bersangkutan untuk membayar angsurannya. Dan tentu saja jumlah anggota keluarga berpengaruh. Misalnya dengan penghasilan 20 juta dia baru menikah dan belum memiliki anak dan tidak ada tanggungan atau kewajiban lain tentu berbeda analisanya dengan penghasilan 10 juta sudah menikah dan punya anak 11 misalnya.

Surat keterangan belum menikah. Surat keterangan ini memang banyak macamnya, tentu fungsinya memang untuk pengecekan dari keabsahan masing-masing identitas calon klien. Tidak semua PJK atau pihak semacam itu misalnya mewajibkan hal ini, ada surat keterangan lain bahkan. Karena biasanya untuk E-KTP pihak PJK sudah memiliki alat dan aplikasi dari Dukcapil sebagai pihak yang lebih valid datanya. Jadi misalkan KTP kamu discan di alat ini tidak memunculkan data maka ada kemungkinan KTP belum klik ke data Dukcapil, KTP fisiknya sudah rusak, atau KTP kamu tidak valid datanya. Dan data dari Dukcapil ini cukup rinci termasuk data status pernikahannya tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.