Aku tidak ada masalah dengan asap rokok.
Bapakku dulu berpuluh-puluh tahun sudah merokok di rumah, meskipun aku mencoba untuk tidak sering-sering menghirup asapnya. Anehnya meskipun aku tidak menyukai asap rokok yang membuat sesak (aku khawatir punya asma), tetapi aku suka membaui tembakau. Hal ini berawal dari sebatang rokok yang aku cium-cium baunya. Baunya ternyata enak, berbeda jauh dengan setelah disulut api.
Masalah itu tiba saat aku menyadari bahwa asap rokok dihembuskan dari dalam hidung atau mulut si perokok. Saat itulah aku merasa...apa ya, jijik...hmmm...bukan sih, risih kali ya. Karena asap itu keluar dari tubuhnya, dari pernafasannya. Dari hembusan nafasnya, kemudian saya hisap masuk ke paru-paru saya? Enggak banget.
Dari sini aku mulai membatasi diri, melihat dahulu siapa yang merokok. Tidak sembarangan menghirup udara berasap rokok. Tentu saja, saya nggak keberatan jika harus dalam satu ruangan yang agak luas dan masih memungkinkan udara berganti dengan syarat: saya melihat dulu siapa orang yang menghembuskan asap rokok itu. Itu syarat yang tidak bisa ditawar.
Meskipun saya tidak menyukai asap rokok, tetapi saya merasa heran juga kalau ada laki-laki yang tidak merokok. Rasanya aneh saja, seperti...tidak apa ya...tidak laki-laki, kurang laki gitu. Rasanya aneh saja kalau mendengar gitu, rasanya apa ya, cowok kok nggak ngerokok sih aneh banget. Tapi saat ketemu orang ngerokok aku juga bingung menutup hidung, apalagi setelah tahu siapa yang merokok. Kalau yang merokok seseorang yang saya sukai, saya pasti rela berlama-lama menghirup hembusan asap rokok dari mulutnya, dengan senang hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.