Minggu, 18 Agustus 2019

The Temple of The Golden Pavillion

Judul : The Temple of The Golden Pavillion
Penulis: Yukio Mishima
Penerbit: Immortal Publisher
Cetakan: 2017
Tebal: 350 halaman

Ada hal-hal unik dalam novel dari penulis Jepang. Seksualitas dan kekelaman seperti buku Haruki Murakami misalnya. Atau romantis, hangat dan lembut seperti Yasunari Kawabata. Ya tentu saja saya hanya pernah  membaca novel dua penulis Jepang itu. Jadi belum bisa membandingkan dengan karya lainnya.

Seperti Yasunari Kawabata, ternyata penulis yang juga penyair, aktor dan sutradara ini meninggal karena bunuh diri pada saat berkudeta. Dan dari yang saya baca dia memang fokus menulis tentang homoseksualitas, kematian dan perubahan politik. Selain berkarya dia juga kritis dan benar-benar melakukan aksi dalam bidang politik. Ternyata dari yang saya baca Kawabata bahkan menjadi mentornya dalam berkarya. Mishima begitu menyukai karya-karya Kawabata.Banyak sekali karyanya berupa novel, esai, film dan lainnya, bahkan setelah kematiannya juga banyak penulis yang membuat karya mengenai dirinya.

Kembali ke buku, novel ini bercerita tentang perjalanan Mizoguchi yang menjalani pendidikannya di Kuil Emas. Ayahnya yang seorang pendeta di sebuah kuil berkeinginan agar dia menjadi seorang pendeta. Di Kuil Emas itu Mizoguchi bertemu dengan Tsurukawa dan Kashiwagi.

Seperti di paragraf sebelum ini bahwa tulisan Mishima fokus pada homoseksualitas, jadi wajar jika tulisan-tulisannya berupa kekaguman pada pesona laki-laki.Semasa hidup dari yang baca Mishima juga banyak mengunjungi bar gay. Entah memang kecenderungan seksualnya atau untuk riset semata. Meskipun begitu Mishima memiliki istri dan anak juga.

Cukup segitu saja saya membahas mengenai penulisnya sendiri saatnya kembali membahas mengenai buku ini. Saya sedikit melompat-lompat saat membacanya, karena deskripsi kalimatnya yang panjang. Dan mungkin karena terjemahan atau tata kalimatnya ada yang (menurut saya) nggak pas jadi saya merasa kurang sabar untuk membacanya.

Novel ini juga seperti menggaris bawahi bahwa tokoh-tokoh di novel ini tidak sempurna. Meskipun berulang kali disebutkan mengenali keindahan tetapi sebenarnya justru keinginan untuk menghancurkan keindahan itu sendiri. Tokoh utama yang gagap dan sahabatnya yang berkaki bengkok. Begitu juga Kuil Emas yang semula digambarkan oleh ayah Mizoguchi begitu indah dan sempurna ternyata tidak begitu adanya. Kuil Emas sendiri bagi saya ibarat kehidupan itu sendiri, nampak indah dan sempurna, tetapi ternyata tidak begitu kenyataannya. Kehidupan juga banyak terdiri dari ketidak sempurnaan. Kekecewaan tokoh utama tentang keindahan kuil yang disampaikan ayahnya membuatnya ingin membakar kuil tersebut. Bagaimana akhir ceritanya, sila baca sendiri novel ini saja he he.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.