Selasa, 27 September 2016

Warung

Kulitnya kuning langsat, tubuhnya semampai tinggi sedang. Matanya tak begitu besar pun tak sipit. Tapi setiap laki-laki yang ditatapnya dijamin klepek-klepek. Itulah mbak Meri alias mbak Merica.

Setiap pagi dia sudah dandan ayu di depan warungnya. Lipstik yang tidak terlalu tebal karena bibirnya sudah dari sananya merah mengundang. Kulit wajahnya halus tak bernoda, sekedar dipoles bedak tipis. Rambutnya yang hitam tebal digelung di atas kepala. 

Tangannya yang cekatan memilah semua bahan, menyiapkan mangkok-mangkok soto dan menambahkan kuah mengepul yang membuat cacing di perut berontak. Menaburkan bawang goreng dan dengan senyum menyerahkan mangkuk soto pada pelanggannya. Senyumnya mengembang pada siapa saja yang datang, suara lembut penuh perhatian menanyakan apa pesanan orang-orang yang datang. 

Saat dia menunduk mengambil uang kembalian dadanya yang penuh dibalut baju spontan jadi pemandangan yang ditunggu-tunggu. Padahal secuil kulitnya tak tampak sedikitpun. Tapi khayalan semua lelaki yang antri tampaknya melebihi apa yang tampak. 

Perempuan itu masih umur dua puluhan, matang-matangnya dan belum ada satu lelaki pun yang jelas bakal jadi jodohnya. Sepertinya dia tahu benar bahwa pesonanya membuat cemburu siapa pun laki-laki yang datang ke warungnya jika suatu saat ada lelaki yang memilikinya.

Mungkin itu buruk untuk kondisi warungnya, jadi dia sedikit mengulur waktu. Membiarkan khayalan-khayalan liar laki-laki pelanggan warung sotonya mabuk sendiri.

"Sudah mau berangkat pak?" tanya bu Jahe pada suaminya yang rapi dan wangi.
"Iya, keburu siang," jawabnya mantap.
"Kopinya?"
"O sudah bu, pergi dulu ya," katanya.
Pak Jahe menstarter motornya yang setiap pagi ia bersihkan.
"Hati-hati pak," jawab istrinya. Pak Jahe hanya mengangguk.

Sepanjang jalan wajah pak Jahe tampak berseri-seri bahkan senyum-senyum sendiri. Motornya melaju menuju warung soto langganannya yang selalu ramai di pagi hari.

Warung sudah ramai, antrean pembeli mengular. Setelah memilih tempat duduk di pojokan, dia mulai menikmati sotonya yang masih mengepul. Pak Jahe membuka-buka ponselnya.
Ting!
Sebuah pesan masuk.
"Sudah di kantor pak" begitu bunyi pesan itu. Oh ternyata dari istri pak Jahe.
"Sudah bu, bentar lagi" pesan selesai diketik kemudian dikirimkan pada bu Jahe.

Pak Jahe senyum-senyum lagi, matanya beralih pada wajah mbak Meri pemilik warung soto itu. Kulit wajah mbak Meri kemerah-merahan kena uap panas soto. Ada sebutir keringat yang mengalir di sela-sela rambutnya. Mengalir ke samping telinga kemudian ke leher, terus ke bagian bawah yang masih tampak terlihat hingga...
Cegluk!
Pak Jahe menelan ludah.
"Loh pak katanya sudah sampai kantor," suara yang dikenalinya.
Istri pak Jahe tahu-tahu sudah jatuh entah dari langit mana dan berdiri di depan mejanya.
"Lho bu...anu...mau sarapan soto dulu," jawab pak Jahe sekenanya.

Wajah bu Jahe merah padam, dari tadi sejak adegan itu bu Jahe sudah berdiri tak bersuara memerhatikan adegan mesra nan indah itu terjadi di depan matanya.
"Ibu makan sekalian..." tawar pak Jahe hambar.
Bu Jahe melotot dan menjewer kuping pak Jahe sampai keluar warung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.