Penulis: J.M Coetzee
Penerjemah: Renny Wahyuni
Penerbit: Jalasutra
Cetakan: Desember 2007
Tebal: 246 halaman
"Perang, dialah ayah dan raja semua.
Sebagian dia tuntun jadi dewa, lainnya manusia.
Sebagian dia jadikan hamba, lainnya merdeka."
"Di tengah kecamuk perang saudara, Michael K berniat membawa ibunya pulang kampung. Ibundanya sakit parah karena tua dan bermasalah dengan cuaca. Belum sampai tujuan, ibunya meninggal dunia, membiarkan K sebatang kara. Dia memutuskan meneruskan perjalanan dan berjanji akan tinggal di kampung tempat ibunya tumbuh. Perjalanan ke sana di luar dugaan amat keras dan menggiring dia terlibat masalah yang ingin dia hindari."
"Dia sudah memilih jalan sunyi, hidup mengandalkan tangan dan hasil bumi secukupnya, tapi tentara tak peduli, sampai dia ditangkap karena tak memilki surat identitas, dituduh sebagai anggota gerombolan pemberontak yang suka membakar dan menjarah pemukiman penduduk. Mereka menciduk K, menginterogasi, menyiksa, memaksa mengakui kegiatan yang tak dia lakukan."
John Maxwell Coetzee lahir di Afsel, sudah dua puluhan judul buku ditulisnya. Dan meraih penghargaan Booker Prize for Fiction 1983 untuk buku ini dan Disgrace (1999). Berbagai penghargaan sastra bahkan Nobel dia dapatkan, hingga mencapai enam belasan jumlahnya. Demikian sekilas tentang penulis yang disampaikan di buku ini.
Buku yang saya baca ini terjemahan ukurannya cukup kecil 12 x 19 cm saja. Sampul dominan warna kuning dengan gambar siluet seorang anak lelaki dan sebuah tangan yang sepertinya berbuat kasar ke arah kepalanya. Karena tanpa ilustrasi apapun agak membuat saya bosan membacanya, hehe biasa lihat gambar, tapi ceritanya bagus kok. Ukuran hurufnya terlalu kecil kalau buat mata saya sih, mungkin karena ukuran bukunya juga kecil. Mungkin fontnya yang agak membuat bosan.
Bercerita tentang Michael K bersama ibunya, hingga berkelana sendiri dan masuk ke kamp, kemudian kembali berkelana lagi. Hingga harus memakan tumbuhan, bunga, serangga apapun yang dia bisa makan untuk bertahan hidup. Bagaimana menjalani kehidupan di kamp, kekerasan dalam hidup di negeri yang sedang mengalami perang saudara. Ceritanya sangat detail menggambarkan suasana ceritanya, hampir mengira ini bukan fiksi tetapi kisah nyata karena seperti benar-benar nyata.
"Betapa beruntung aku tak punya anak, pikirnya: betapa beruntung aku tak punya hasrat menjadi ayah." (hal 142)
Seperti halnya nasib buku-buku yang saya pinjam dan saya baca maka saya menuliskannya di sini sebagai catatan untuk saya sendiri, dan jika mungkin juga bermanfaat bagi yang lain. Satu yang saya tangkap di buku ini, bahwa perang entah apapun alasannya dan siapapun yang terlibat pada akhirnya menimbulkan penderitaan bagi manusia-manusianya. Yang mungkin tak tahu menahu tentang apa yang mereka perebutkan dalam perang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.