Jumat, 27 November 2015

Kayu Manis Keju dan Gula (1)

Gadis kecil itu melangkah mendekati taman. Bunga mawar yang berwarna merah dan pink, dia memerhatikan tiap sudutnya. Kelopaknya yang segar, lembut jika disentuh, seperti kain satin yang halus dan sedikit basah. Ada selapis embun menutup bagian atasnya. Pandangannya beralih pada pohon besar di ujung taman. 

Pohon itu mungkin rumah elf angin pikirnya. Desik dedaunan terdengar pelan, saling bergesek karena angin. Tak ada sarang elang di sana. Dia menyentuh batang pohon besar itu, menekan dan mencoba menggerakkan batangnya, ternyata bergeser sedikit pun tidak. Dia menatap ke atas pohon, daun berwarna jingga dan merah berjatuhan menimpa rambutnya. Dia mengumpulkan daun itu di gaunnya yang bertumpuk. Dia kemudian lari ke arah dapur rumah. 

Aroma kayu manis, keju dan gula menyeruak dari dapur menggoda penciumannya. Dengan gaun penuh daun jingga dan merah dan kaki penuh lumpur, dia berjinjit ke arah pintu dapur. Dia menempelkan sebelah matanya ke lubang kunci dan menggeser gagang pintu dengan kepalanya.

"Hai cantik, masuklah. Bersihkan kaki kotormu, dan apa yang kau bawa di gaunmu?" Seorang perempuan gemuk berkulit putih sedikit bercak kecoklatan memakai apron dan spatula di tangan.

Gadis kecil menunjuk daun jingga dan merah dari elf angin di gaunnya kemudian menggeleng dan berlari ke arah taman lagi. Kapan papanya pulang dan mengajaknya menangkap kupu-kupu, mencabuti rumput atau berjalan dengan Billy-siberian husky miliknya.

Di saat musim hujan tanah di padang rumput akan menjadi becek dan berlumpur. Indian grass mulai bermunculan dengan tangkai panjang kecoklatan. Dia mengibaskan gaunnya dan berhamburan semua daun berwarna jingga dan merah. Tangannya melambai pada elf angin yang beterbangan, pulang ke negerinya. 

Lumpur yang mengering di kakinya mulai mengganggu. Rasanya menjadi keras dan sakit di kulit tidak seperti saat masih basah tadi. Gadis itu mulai mengerik lumpur itu dengan kukunya. Lumpur kering berwarna merah kecoklatan berjatuhan di lantai dekat dapur. 

Boots paman Edward terdengar melintasi ruang tengah. Sekian menit kemudian derab kaki kuda menembus rerumputan tinggi. Tanah basah terlempar sesekali dari kaki kuda yang berpacu. Suara perempuan dari dapur terdengar memecah kesunyian rumah besar itu. Perempuan yang sama muncul dengan pai apel di tangan.

Apron yang dikenakan tampak belepotan tepung gandum, bercampur sedikit mayones dan saus tomat yang kemerahan. Dengan pastelnya mungkin dia bisa menciptakan lukisan serupa itu, pikirnya. Lukisan mirip Da vinci, Monet, atau mungkin Giotto seperti yang selalu papanya tunjukkan. 

"Sayang, bersihkan tanganmu, makan habis pai ini dan jauhi tanah kotor itu."

Jari-jari tangan perempuan itu mirip kue berbentuk tongkat yang dicelupkan di lelehan cokelat putih. Kue-kue saat musim dingin yang lezat dan tidak membuat bosan. Jari miliknya lebih kecil, mungkin bagus untuk bermain di atas tuts piano atau melukis di atas kanvas, bukan di dapur.

Dia membasuh kakinya di keran dekat pintu dapur. Keran yang menempel di dinding luar pintu dapur. Dia menggosok tanah kering itu hingga bersih dan mengulangi lagi hingga benar-benar bersih. Ada seekor lebah madu datang mendekat, mungkin hendak minum dari air yang mengalir. Sayap kecil lebah itu mirip baling-baling pesawat. Matanya besar dan hitam legam dengan tubuh sedikit berbulu kekuningan. Mengerikan sebenarnya. Dia kemudian mematikan keran itu dan berlari ke dalam.

* Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.