Senin, 11 Mei 2015

Alex dan Penguasa Hutan

Tanahnya masih lembab, pasti karena hujan deras semalam. Tetesan air sisa hujan masih terdengar dari satu daun jatuh ke dedaunan di bawahnya. Sebagian lagi jatuh hingga ke dedaunan kering yang memenuhi tanah di sekitar pepohonan besar yang menjulang seperti menusuk langit. Berjalan di antara pepohonan itu seperti melewati bangunan gedung pencakar langit begitu rapat dan kokoh dengan serabut akar yang bergelantungan di sana sini. Sebegitu rapatnya pepohonan itu membentuk kanopi hutan sehingga sinar matahari sedikit saja yang sampai ke bawah sini. Cukup lembab untuk bersembunyi seekor ular atau serangga hutan untuk meletakkan telurnya di balik dedaunan yang tebal seperti kasur itu.

Baru saja berjalan setengah hari belum sampai ke kemah yang dimaksud tetapi sudah menguras keringat terutama bagi Mercury yang jarang sekali berjalan menembus hutan seperti ini. Botol mineral yang dibawanya sudah habis setengahnya, sekali dia hendak menenggak isinya tangan Alex dengan sigap merebut botol itu dari tangannya. 

“Hey, punyamu mana” teriak Mercury dengan sengit sambil menatap Alex yang berjalan melewatinya seakan botol itu sengaja dibawa Mercury untuknya, tanpa rasa berdosa.
Alex yang berjalan di depannya lantas menoleh tersenyum dan mengangsurkan botol yang nyaris kosong. “Ah what” seru Mercury sambil memukul tas punggung Alex.
Alex terdengar tertawa ringan sambil terus berjalan di depannya.
“Hey, tunggu aku” teriak Mercury menguntit langkah Alex setengah berlari.
Tiba tiba Alex berhenti sejenak, hampir saja mercury menubruk punggung Alex.
“Ada apa Lex? Kita sudah sampai?” tanyanya senang sambil membayangkan Bima menantinya dengan ayam bakar yang harum.
“Belum” jawab Alex yang kemudian melanjutkan langkahnya.
Langkah keduanya semakin menjauh, dari balik pepohonan tampak sepasang mata sedang mengawasi langkah keduanya.


Api unggun tampak menyala terang di kejauhan, kepulan asapnya membubung tinggi ke langit malam.
“Akhirnya sampai juga” Mercury melangkah menghampiri Bima yang duduk di dekat api unggun berseru sambil mengangkat ayam panggangnya ke arah Mercury.
“Lama banget kalian, tadi kupikir apa perlu kususul kalau kalau kalian tersesat”kata Bima sambil menatap mercury dan Alex yang tampak kelelahan.
Wanita itu menghempas tasnya di tenda dan duduk sambil melepas sepatunya yang belepotan dengan tanah. Berganti kaus kaki dan sandal yang ada di tasnya.
Alex sudah duduk di kayu gelondongan dan memegang secangkir kopi yang mengepul, aroma yang sedap. “Mana punyaku?” seru mercury kearah Bima.
Cangkir yang mengepul itu beraroma daun teh dan melati, teh hangat kesukaan Mercury.

“Bagaimana Lex, kamu sudah ketemu tadi?” tanya Bima sambil memberikan ayam panggang dan kentang rebus yang mengepul kearah Alex.
Alex menggeleng,”Tapi aku melihatnya, sekilas” lanjutnya.
“Kalian bicara apa sih?” tanya mercury ingin tahu.
Bima menatap wanita di depannya. Aku ingin menjelaskannya padamu, tetapi aku ragu apakah kamu cukup berani mendengarnya. Apalagi setelah apa yang kamu alami, aku tak ingin membuat kamu panik lagi.
“Tanya Alex” jawab Bima berkelit.
Alex berhenti menghisab rokoknya, makanan di tangannya sudah tandas rupanya. Alex tampak bingung menjelaskan, bahkan tak menduga Bima bakal langsung melempar pertanyaan itu padanya.
“Hmm, gini..tadi di jalan Bima melihat sesuatu, yang kamu pasti tak mau tahu” Alex tampak menatap Bima sedikit ragu dengan apa yang di katakannya benar atau tidak. Bima menatapnya,”Ah kau Lex, Mercury baru saja datang kesini dan kamu malah cerita seperti itu.”
“Ah gini maksudnya Mer, kita camping di sini bukan hanya liburan saja, ada sesuatu hal yang ingin Alex perkenalkan padamu” ucap Bima setenang mungkin, lekat matanya menatap perubahan mata Mercury. Berharap yang di ucapkan barusan tidak membuat Mercury mendadak pucat. Tetapi wajah itu tampak tenang saja, masih sibuk dengan ayam panggangnya dan ketika sadar dua lelaki di hadapannya menatapnya,”Hehehe, iya aku sudah menduga itu kalian tak perlu khawatir, aku nggak papa” ucapnya dengan mulut penuh.
Bima tampak lega, dan Alex meniupkan asap rokoknya ke udara.
Malam semakin larut, “Mer kalau kamu lelah malam ini kamu tidur duluan saja, aku dan Alex yang akan berjaga” ucap Bima kemudian. Mercury mengangguk dan berjalan ke tenda sambil membawa piring di tangannya.


Hutan itu tampak hening seketika, suara monyet di kejauhan, suara anjing hutan yang melolong bersahutan, suara jangkrik dan belalang hilang seketika. Hawa dingin menyergap, seolah di tiupkan dengan sengaja kearahnya, ada angin yang tiba-tiba berhembus menguat, bukan berasal dari atas pepohonan tetapi dari sela-sela pepohonan. Sesaat nampak sesuatu bergerak membelah rimbun pohon dalam gelap, dilihat ukurannya sesuatu yang menyamai tinggi pohon di hutan itu. Tanah berdebum seperti langkah kaki yang begitu besar dan berat menapak mendekat, bersamaan dengan itu muncul sesosok makhluk di depannya. Makhluk menyerupai manusia, tetapi ukurannya sangat sangat besar, dan di kepalanya ada semacam mahkota pakaiannya seperti baju yang dianyam dari dedaunan, tetapi bentuknya sangat rapi lembut dan menyamai tenunan benang, serba berwarna hijau dan cokelat, dengan wajah yang tidak menakutkan.

“Ada keperluan apa memanggilku?” suara lelaki yang berukuran ekstra besar di hadapannya, suaranya keras memekakkan telinga. Seperti melihat raksasa di film-film itu menjadi nyata di hadapannya. Seandainya Alex dan Bima tidak di sisinya pasti dia sudah berlari pontang panting menjauh dari makhluk super besar ini.
“Aku hendak meminta tolong kepadamu” ucap Alex pelan, sama sekali tidak berteriak. Hampir saja aku menepuk bahunya, apakah makluk besar ini mendengarnya.
“Meminta tolong apa?” jawab makluk yang bisa kuperkirakan berjenis pria ini. Dari pakaian yang dikenakannya, sepertinya begitu. Aneh saja dia mendengar suara Alex yang pelan.
Tiba-tiba makhluk besar itu bergerak Mercury melangkah mundur ke belakang punggung Alex, rupanya dia hanya mencoba menatap Alex dengan posisi setengah duduk dengan salah satu lutut bertumpu pada tanah.
“Begini, kawan kami ini memiliki masalah dengan tubuhnya, belum lama ini dia di bawa makhluk ke dunia halus sehingga dia seperti di mantrai dan di kunci jiwanya, bisakah kamu menolongnya?” kata Alex tanpa ragu sedikitpun. Mercury menatap dengan takjub lelaki tengil yang semaunya sendiri itu bisa seberani dan sehebat ini, tak ada gentar sedikitpun. Bayangkan makluk ini bukan makluk sembarangan, dan dia sudah berkawan baik dengannya selama ini, bahkan demi dirinya dia rela menempuh perjalanan ke hutan yang jauh ini.
“Hmm...” makhluk besar itu kini berganti menatapnya. Seandainya boleh dia memilih tetap di belakang punggung Alex, dari pada menghadapi makhluk ini. Antara takut dan mencoba memberanikan diri Mercury melangkah hingga tak lebih dari samping sejajar dimana Alex berdiri. Bima di sisi yang lain hanya diam menatap makhluk di hadapannya juga.
“Kamu yang dia maksud?” ucap makluk itu menatap mercury sambil menunjuk Alex.
“Iy..iya, akulah yang dia maksud” ucap Mercury tergagap. Bahkan tenggorokannya serasa tercekat dan kering, hampir saja suara itu tak terdengar. Nafas makhluk besar itu ternyata beraroma seperti kayu dan bunga hutan yang segar, aneh saja dia pikir bau busuk mengerikan yang akan tercium. Tentu saja, makhluk dihadapannya ini adalah raja dari segala yang ada di hutan ini.
“Baiklah” ucap makhluk itu sambil kembali berdiri tegak, rambutnya yang sedikit panjang tampak bergerak-gerak.
“Terimakasih, dan aku meminta maaf jika kedatangan kami mendadak dan merepotkan kali ini” ucap Alex dengan kepala menunduk tanda terima kasih.
“Ya tidak apa-apa, aku mengerti” ucapnya sambil berbalik dan hilang diantara gelap pepohonan hutan.
                 

Alex tampak membabat semak belukar di samping kiri dan kanan jalannya. Mercury dan Bima mengekor di belakangnya. Mereka diam saja sepanjang perjalanan, biasanya jika Alex begini mereka tak hendak mengganggunya.
“Nah itu dia” ucap Alex sambil menghentikan langkah dan memasukkan pisau yang besar seperti pedang itu ke sarungnya.
Sebuah pohon tua menjulang tinggi, akar pohon yang menjuntai dari atas begitu banyak seperti tirai yang menutup sekeliling batang pohonnya. Jika dipeluk mungkin butuh lima atau tujuh orang hingga menutup batang pohon itu. Besar sekali.
Bahkan di sekitar pohon itu tampak seperti diberi ruang, seperti sebuah tanah lapang yang sengaja dibuat untuk pohon itu berdiri kokoh sendirian. Seakan hutan memberi jarak padanya untuk bernafas dan mendapatkan sinar matahari, pohon tua yang begitu besar.
Alex tampak mendekati pohon, Mercury dan Bima masih terkagum-kagum menatap pohon itu. Entah pohon jenis apakah yang di hadapannya itu.
Sejenak Alex tampak diam kemudian tangannya seperti mencukil sesuatu dari kulit pohon itu, saking tuanya hingga kulit tebal berwarna cokelat tua kehijauan itu seperti cat dinding yang gampang terkelupas.
Alex mengeluarkan pisaunya, sepertinya ada bentuk aneh di batang pohon yang membentuk lekukan itu. Tiba tiba KRAKK!! Ada sesuatu yang jatuh dari patahan batang pohon yang dikorek-korek Alex. Sesuatu yang berbentuk tak lebih dari 30 centi, seperti sebuah gulungan kayu tipis diikat tali dari kayu hutan yang berwarna cokelat kekuningan.
“Ini dia Bim, sudah kudapatkan” kata Alex dengan tersenyum menatap Bima dan Mercury bergantian. “Apa itu Lex” tanya Bima heran dan ingin tahu.
“Nanti saja di sana kujelaskan, kita pulang saja dulu hari sudah semakin siang, Mercury juga pasti lelah, jangan sampai kita kemalaman sebelum mencapai tenda” ucap Alex sambil menyelipkan barang itu di balik jaketnya.
Alex kembali berjalan mendahului diikuti Bima dan Mercury yang sedari tadi hanya mengeekor saja di belakang. Mereka menantikan penjelasan Alex, tetapi sepanjang jalan mereka hanya berhak diam mengikuti langkah Alexnya.
            

Matahari berwarna jingga, warna senja mulai nampak di arah barat. Tenda dan semua peralatan sudah di kemas rapi. Sisa api unggun sudah di siram air. Mereka berjalan bergegas menuju mobil di parkiran di luar sisi hutan, mobil hitam milik Bima sudah menunggu bersama seorang kawannya.
Wajah Alex tampak senang, sesekali mereka bercanda di sepanjang jalan setapak itu.  Sepasang mata dari balik dahan pepohonan nampak menatap mereka, Alex tiba-tiba menatap ke arah pohon itu, sambil melambaikan tangan dan tersenyum mengangguk. Langkahnya semakin dipercepat sebelum adzan magrib datang dia harus segera sampai. Barang yang dicarinya untuk menolong Mercury sudah dia dapatkan.

                       
Sebuah pisau tua, dengan ukuran kecil seukuran pisau biasa. Dengan gagang dari kayu keras berwarna kekuningan berukir kepala binatang, sarung pisau juga penuh ukiran kuno dan simbol-simbol yang dia belum mengerti. Sangat rumit ukiran itu sehingga tak mudah siapapun pembuatnya pasti sangat hebat, ukiran itu di pahat pada sebuah lempeng kekuningan dan bisa dilipat jika tidak di gunakan. Kalau tidak salah sarung pisau itu terbuat dari lempeng logam yang di pahat sangat rumit.

Barang itu dimasukkan ke tasnya, kata Alex pisau ini yang menjaga dirinya apabila lelaki dari istana di balik air terjun itu masih hendak mengganggu dirinya. Meskipun begitu, Mercury juga tidak lagi takut menghadapinya, karena kini disampingnya berdiri wanita cantik dengan pakaian polos dan bercaping yang hanya dapat dilihat dirinya. Dengan sepasang pedang kembar di kedua tangannya. Apapun di depan sana yang menghadangnya, tidak ada yang membuatnya surut dan takut lagi. Bahkan jika itu belum cukup, lelaki yang duduk berdua di sofa itu, Alex dan Bima selalu disampingnya dan siap membantunya.

“Hey, sudah belum? Lama banget sih” teriak Alex dari ruang depan.
“Ya, ini sudah siap” jawab Mercury sambil bergegas menyambar tumpukan buku dan kertas di mejanya.

Perjalanan masih panjang dan banyak hal yang bakal ditemui mereka bertiga, dan Mercury tak menyerah begitu saja.            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.