Daftar : sebotol bius, alat suntik baru, kapas steril, satu
gulung tisu, pisau.
Aku meletakkan kertas di meja. Mencari jaketku dan
memasukkan kertas itu ke saku jaket. Kunci motor kuambil dan bergegas menuju ke apotik. Mbak-mbak penjaga sempat menatapku sekilas, kemudian kertas di tangannya.
“Ini?
Satu saja?” tanyanya.
“Ya
mbak,” aku mencoba tersenyum.
Kuambil kresek putih dari tangannya. Tadi sempat kulihat dia
berbincang dengan kawannya yang berjas putih. Perempuan satu lagi juga
menatapku sekilas.
Aku menstarter motor dan melaju di jalan yang dingin dan lembab. Kaus dalam yang kukenakan seperti menempel lekat dikulit punggung dan perut. Rambutku juga melekat.
Kuletakkan plastik isi barang-barang itu di meja. Kunyalakan lampu, di luar sudah gelap. Buru-buru kunyalakan kompor. Sedikit air cukup untuk dua
kopi. Aku menghidupkan kipas angin berwarna pucat yang
berdiri kaku di pojokan. Sepucat kulitku. Ketika pintu diketuk,
“Masuk
saja.”
Seorang perempuan masuk, rmendekat dan bibir lembutnya menyapu
bibirku. Bibir yang menjadi hiasan malam-malam saat membayangkannya sendirian.
“Kau
lengket.”
Dia melepas jaketnya yang berwarna hitam, mengucir rambutnya
yang sebahu. Dan duduk di pinggir ranjang. Dia hanya memakai kemeja putih dan celana pendek. Cara duduknya juga selalu begitu.
“Kau mau kopi?”
“Kau mau kopi?”
Dia mengangguk. “ Uff panas ya akhir-akhir ini.”
Keringat mengkilat di dadanya, dia sengaja membuka kancing
kemeja di bagian dada, bra hitam itu menggenggam erat sesuatu di dalamnya. Dia mengelap
keringat. Dan membasahi bibirnya yang merah muda. Bunyi air mendidih mengalihkan mataku. Aku berdiri
mematikan api dan menyeduh kopi. Dua sendok gula, 1 blok krim.
“Yap.”
Dia tersenyum memegang kopinya.
“Bukankah
kita butuh es?”
“Ya
kukira.”
Aku mendekat melepas kemejanya dan melncium bibirnya, tanganku bergerilya di tempat lain.
“Kau
lengket sekali.”
“Hmm..”
aku mejawab begitu saja.
“Tunggu
kau sudah beli pesananku?” aku berhenti sebentar, menatap matanya dan
berdiri menunjuk meja.
“Itu.”
“Bagaimana,
kau tak berubah pikiran lagi tentang orang tua itu?”
“Kukira tidak.”
Aku menambahkan es pada kopi dinginnya.
“Apa
aku harus ikut juga?” tanyanya.
“Ya.”
Aku menarik penuh cairan
serupa susu itu ke dalam alat, lebih seperti es krim putih yang lumer. Atau jus
sirsak yang kental dan lembut.
“Kukira
ini cukup.”
Aku mencium bibirnya lagi dan rasanya aku jadi ingin melakukannya hal lain sebelum pergi.
***
Pintu rumah kami kunci pelan.
Bunyi klik hampir tak terdengar. Dia naik taksi yang sudah berhenti di depan.
Aku melompat menyusul naik. Tas selempangnya penuh rahasia. Isi yang berpindah
tempat.
Rumah itu benar-benar besar, para
penjaga dan pengawal tampak lalulalang. Bahkan para pencabut rumput saja
berseragam. Dua perempuan membukakan pintu, kami masuk diantar ke ruangan
lelaki itu. Lelaki umur enam puluhan yang masih berdiri di dekat jendela. Dia
menyambut dengan anggukan. Dan menyuruh kami menunggu sebentar.
“Aku
mandi sebentar ya, silakan pesan minuman kalian. Leila bawakan apa yang mereka
minta.”
Kami memesan es lemon untuk siang
yang panas ini. Untuk tas plastik yang diterbangkan angin di gantungan motor tadi. Lelaki itu dengan rambut basah berbaring di tempat tidur.
“Mulailah, aku siap,” ujarnya kemudian.
Aku berdiri membawa tas selempang
dengan saku banyak dan jas putihku berkibar ditiup angin dari jendela. Aku
mengeluarkan alat suntik, membuka penutupnya dan membenamkan ujung jarum di lengannya. Beberapa menit kemudian dia mulai memejamkan mata, nafasnya tenang.
Perempuan itu menatapku sesaat,
berjalan ke pintu dan menguncinya. Aku mengeluarkan pisau yang baru kubawa tadi, cukup tajam meski tidak mengkilat.
Aku menggores lengannya pelan,
darah mengucur deras, tepat di dekat nadi. Laki-laki itu tak bergerak masih
bernafas pelan. Kami duduk sekitar satu jam, saat jari tangan laki-laki itu
bergerak sebentar dan diam kemudian. Dua jam berlalu, kami menutup tubuhnya
dengan selimut. Menyingkirkan baskom penuh darah yang entah keberapa kalinya.
Menuang di closet dan mengguyur entah juga untuk kesekian kalinya. Aku menjahit luka itu pelan,
membalutnya dengan perban sehingga rapi, sempurna. Wajahnya pucat, habis. Aku
membuka pintu dan berjalan keluar. Setelah menyuntikkan lagi padanya cairan
putih.
“Jangan
dibangunkan dulu, operasi berjalan baik dan kukira dia butuh istirahat malam ini. Dia pun tadi berpesan begitu.”
Dua penjaga berbadan tinggi besar
itu mengangguk sambil sedikit melongok ke dalam. Kami menaiki taksi yang
menunggu dan berlalu dari situ.
Kami duduk berhadapan di balkon ditemani gelap kota. Kami bersulang di meja itu dengan dua botol minuman ringan.
***
Kami duduk berhadapan di balkon ditemani gelap kota. Kami bersulang di meja itu dengan dua botol minuman ringan.
“Untuk
kita.”
“Ya,
untuk malam-malam yang indah. Kukira posisinya bakal diambil alih tangan kanannya, tapi bagaimanapun usaha penggantinya tidak akan sebaik dirinya lagi. ”
"Stop meracuni otak anak-anak muda."
"Stop meracuni otak anak-anak muda."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah berkenan membaca tulisan ini. Jangan lupa tinggalkan komentarmu di sini.